Buat masyarakat, eh buat saya, maaf! Ada satu istilah dari buku itu yang nancep di benak: “Man jadda wajadda” (Siapa bersungguh-sungguh akan berhasil). Subhanallah. Keren. Betul-betul keren istilah itu.
Islam memang indah. Bukan hanya bisa, tapi amat mudah telusuri kegalauan penyakit hati. Selami nilai-nilainya, saat itu juga penyakit sosial diredam. Man jadda wajadda. “Sepakat, 100 agree”, cetus bathin saya.
Kenapa koq sepakat? Istilah ini pas dengan anak-anak yatim. Bicara yatim, saya pelaku juga. Cuma, ada cumanya. Dibilang yatim, saat itu saya mulai ABG. Dibilang bukan, terbukti terseok-seok. Dampaknya terus berdarah-darah hingga hari ini.
Problem anak yatim, sudah lengkap sempurna lagi. Waktu makan pun begitu. Bagi si yatim: “4 sehat, lima sembarangan”. Makan sehat sesekali. Lima sembarangan sehari-hari. Jelas terus remuk. Sekali salah langkah, seumur hidup bisa mencong permanen.
Bagi yang yatim, bisa rasakan. Yang tak yatim, udeh-udeh! Tak usah coba-coba. Untuk miskin tak usah terjun. Beraaat. Pelaku dengan penonton, jelas beda posisi. Beda posisi, beda rasa.
Untuk cerdas, satu contoh misalnya. Perjuangannya tiada tara. Untuk cerdas, bagaimanapun butuh biaya. Maka begitu pingin cerdas, rerata anak yatim tikam mimpi sedari awal. Sampai kapanpun, cerdas bukan pilihan si yatim.
Akhirnya saya yang “gagal cerdas”, memilih lain. Apa itu? Jujur dan disiplin. Diam-diam ada azam terpahat: “Sudah miskin, curang. Siapa mau ajak. Sudah bodoh tak disiplin. Siapa mau ajak”.
Sumpah, malaikat tak tanya mengapa tak cerdas. Tapi malaikat pasti menyidik: “Mengapa kita curang”. Sumpah lagi. Sampai hari ini saya jujur. Sebab baru disuap dua juta rupiah. Tapi jika esok disogok sekian milyar, wallahu’alam.
Iman turun naik, Bro. Pada saat iman naik, semoga pas kita wafat. Itu husnul khatimah. Man Jadda wa Jada.