Senin 08 Aug 2016 08:08 WIB

Tiga Esensi Haji Menurut Cendekiawan Iran

Jamaah melaksanakan ibadah tawaf di Masjidil Haram, Makkah, Sabtu (12/9).  (foto : AP)

Menurut Ali Syariati, seorang manusia penting untuk memahami fungsi dan perannya masing-masing.

Misalnya, ketika seseorang telah melepaskan pakaiannya kemudian berganti dengan pakaian ihram, seharusnya mereka juga melepaskan seluruh atribut keduniaan untuk mengabdi hanya kepada Allah. Mereka harus tunduk pada aturan yang telah diputuskan.

Di sini juga dapat dipahami bahwa manusia harus berani dan rela melepaskan kedudukan, jabatan, dan semua formalitas di dunia ini di hadapan Allah. Semua manusia sama, berpakaian sama, ibadah yang dilaksanakan juga sama.

Lalu, ketika mereka melaksanakan tawaf, kata Syariati, semestinya manusia dan umat Muslim khususnya, dapat memahami bahwa dia sedang menjalani putaran waktu yang amat cepat.

Karena itu, seorang manusia harus bisa memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebab, bila salah, akibatnya akan fatal, yakni akan berhadapan dengan gelombang maha dahsyat yang siap menenggelamkannya.

Demikian pula saat mengerjakan sai, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah. Ritual lari-lari kecil yang merupakan simbol usaha dari Siti Hajar itu harusnya dipahami sebagai sebuah usaha yang harus dilakukan. “Sai adalah perjuangan,” demikian tulis Syariati. Yakni, perjuangan atau usaha mencari kehidupan yang diridai oleh Allah.

Saat melempar jumrah, jamaah haji harus memahami bahwa banyak godaan yang dialami setiap manusia. Karena itu, dengan tegas mereka harus berani menolaknya dengan usaha melempar simbol penggoda tersebut.

Ketika melaksanakan wukuf di Padang Arafah, jamaah haji harus memahami bahwa itu adalah gambaran saat-saat manusia akan dibangkitkan di Padang Mahsyar ketika kiamat terjadi.

Tak ada dapat bisa menolong. Seluruh umat manusia hanya memokuskan dirinya sendiri. Karena itu, mereka harus banyak merenung, bermunajat, dan memohon ampun kepada Allah atas beragam macam perbuatannya selama di dunia.

Padang Arafah juga merupakan gambaran saat manusia akan ditimbang segala amal perbuatan baik dan buruk. Mereka harus bisa mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah.

Maka, ketika semua prosesi ini telah dilaksanakan dan catatan amal diterima, manusia hendaknya segera membersihkan diri dengan bertahalul, yakni memotong rambutnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement