REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari, penyair, dramawan, sekaligus budayawan WS Rendra menegur sahabatnya Setiawan Djodi. Dia mempertanyakan alasan Djodi yang tidak pernah menggunakan gelar kebangsawanan yang dimilikinya sebagai keluarga Keraton Solo. “Kamu menolak adat. Kenapa enggak mau pakai gelar?” kata Djodi kepada Republika saat menirukan ucapan Rendra beberapa waktu lalu, Ahad (24/7).
Teguran Rendra sebenarnya datang atas permintaan almarhum Pakubuwono X. Sang raja diminta langsung oleh ibu Djodi agar meminta Rendra membujuk anaknya menggunakan gelar kebangsawanan.
Saat itu, dekade 1980-an, hubungan Djodi dengan Rendra memang akrab. Sebagai pengusaha, Djodi kerap membiayai pertunjukan Bengkel Teater yang dikelola Rendra. Keduanya juga terlibat dalam kerja kesenian di Kantata Takwa.
"Karena almarhum Pakubuwono XIII bilang ke Rendra, ‘Djodi itu bilangin, ibunya ngomong ke saya jangan menolak tradisi (gelar),'" kata Djodi.
Baca wawancara Setiawan Djodi: Metallica, Kantata Takwa, dan Islam Suara Revolusioner
Djodi terlahir pada 13 Maret 1949 dengan nama lengkap bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Salahuddin Setiawan Djodi Nur Hadiningrat. Namun, dia mengaku lebih nyaman menggunakan nama Setiawan Djodi. “Aku dapat gelar Kanjeng Pangeran Haryo, aku enggak mau pakai. Buat apa?” kata Djodi.
Sikap nyeleneh Djodi ternyata tidak lepas dari nilai-nilai Islam yang dipahaminya. Islam, menurut Djodi, tidak membeda-bedakan status manusia berdasarkan keturunan dan gelarnya. Djodi mencontohkan, dalam ibadah haji tidak ada perbedaan dalam melaksanakan tawaf. Semua mesti menggunakan kain ihram dengan warna dan bahan yang sama. “Saya ingin menyatu bersama rakyat. Karena Islam yang saya tangkap itu egaliter,” ujar Djodi.
Djodi mengaku prihatin dengan kekerasan atas nama Islam yang kerap terjadi dewasa ini. Menurut dia, kekerasan tidak sejalan dengan cara dakwah yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW.
Dia mencontohkan, dalam Piagam Madinah Rasulullah menjamin keamanan non-Muslim yang tidak memerangi kaum Muslim. Namun, Rasulullah juga tidak segan bertindak tegas kepada orang-orang yang berbuat zalim. “Buat saya Muhammad revolusioner. Agama ini meluruskan kepastian hukum,” kata Djodi.
Djodi sebenarnya tidak mempersoalkan orang-orang yang ingin mendirikan negara Islam. Dalam konteks, demokrasi keinginan itu merupakan hal wajar. Yang menjadi persoalan, menurut dia, adalah ketika keinginan itu dilakukan dengan jalan radikal seperti meneror, mengebom, atau membunuh orang yang tidak bersalah.
“Kalau mau mendirikan negara Islam, tidak ada yang salah. Cuma kenapa mesti ada yang dibakar hidup-hidup?” katanya.
Umat Islam di Indonesia harus menjadi contoh penyebaran Islam dengan cara damai. Sebab, sejarah menunjukkan Islam masuk ke nusantara justru bukan dengan cara perang, melainkan dengan cara damai seperti perdagangan, pernikahan, pendidikan, dan akulturasi budaya.
Djodi berharap umat Islam di Indonesia mampu menjawab tantangan zaman. Caranya dengan meningkatkan kualitas pendidikan bagi umat Islam. Dengan begitu, umat Islam bisa benar-benar hadir memberi manfaat bagi semesta alam. “Ke depan, mari kita cintai Islam biar cinta Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Konstitusi 1945,” katanya.
Keyakinan menyebarkan Islam dengan cara damai jugalah yang kemudian coba dipraktikkan Djodi bersama rekan-rekannya di Kantata Takwa. Djodi mengatakan, lirik-lirik yang disuarakan Kantata sejalan dengan pesan yang dibawa Islam, yakni meningkatkan derajat hidup yang lebih baik, mewujudkan keadilan, dan membimbing manusia menuju jalan takwa. “Ini sebetulnya yang saya sebagai orang Islam sudah ingin men-sounding lewat Kantata Takwa,” katanya.