Oleh: Hasan Basri Tanjung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sungguh, ibadah dalam Islam itu akan mendatangkan kenikmatan. Mulanya, manusia berorientasi pada kenikmatan material sebagai kebutuhan dasar (basic needs) yang disebut Buya Hamka dengan ladzaat (kelezatan).
Lalu, manusia berkembang bukan hanya fisikal, tetapi juga psikis dan sosial sehingga mencari kenikmatan yang lebih tinggi, yakni sosial (ijtima'iyah). Sebuah kenikmatan yang tak ternilai dengan materi, bahkan rela kehilangannya untuk meraih nikmat kebersamaan dan bermakna di tengah yang membutuhkan. Inilah yang disebut as-sa'adah (kebahagiaan).
Tidak semua orang dapat meraihnya walaupun ia telah mencapai kenikmatan material. Ada empat indikator pencapaian kenikmatan sosial. Pertama, senang berbakti kepada orang tua (birrul waalidaiin). Beruntunglah anak yang sempat berbakti, hingga orang tuanya lanjut usia dan mengembuskan napas terakhir di pangkuannya.
Keletihan dalam bekerja mencari nafkah pun sirna ketika dibelai ayah dan ibunda dengan penuh kelembutan. Hasil jerih payah diberikan tanpa perhitungan, apalagi merasa terbebankan. Karena menyadari bahwa sedekah yang paling utama adalah kepada orang tua (QS [2:215). Keridhaan mereka pun sebab turunnya ridha Ilahi dan jalan ke surga (HR at-Turmudzi). Sikap, kata, dan tindakannya senantiasa memuliakan diiringi doa penuh ketulusan (QS [17:23-25, [27]:19, [46]:15). Setelah berbakti kepada orang tua yang melahirkan, lalu muliakan orang tua yang mengajarkan (guru) dan yang menikahkan (mertua).
Kedua, senang berkumpul dengan keluarga. Setelah dewasa, seorang anak mulai membangun rumah tangga. Mendapatkan pasangan hidup yang membuat hati selalu tertarik ketika menatapnya (sakinah), tenteram di saat bersamanya (mawaddah), damai dalam pelukannya (rahmah), dan jika ditinggalkan rindu pun tak tertahankan (QS [30]:21). Lalu, lahir anak-anak yang menggembirakan, penyejuk hati dan pelipur lara, saleh dan salehah, beradab dan membanggakan (QS [25]:74, [37]:100). Beruntunglah seseorang yang ketika menikah masih didampingi orang tua.
Ketiga, senang berjamaah dengan ulama. Kenikmatan tiada tara jika mendapat tetangga dan jamaah masjid yang baik. Apalagi, kita bisa dekat dengan orang-orang berilmu, yakni guru atau alim ulama. Ulama itu pewaris para Nabi (HR at-Turmudzi). Mereka membawa ilmu (cahaya) yang menerangi kegelapan jalan hidup manusia. Beruntung orang yang senang berkumpul dengan ulama, memuliakan, mendengar nasihatnya, dan menghadiri majelis ilmu (zikir).
Para malaikat pun turun ke bumi menaungi dan mendoakan mereka yang duduk di majelis ilmu (HR Muslim). Orang yang senang bergaul dengan alim ulama, tidak akan tersesat jalan hidupnya. Mereka akan dimuliakan sebagaimana Allah SWT mengangkat derajat ulama yang istiqamah (QS [58]:11).
Keempat, senang berbagi dengan sesama. Sedekah yang utama, selain kepada orang tua adalah kaum kerabat, yatim dan miskin (QS [2]:215, [89]:17-18, [90]:14-16). Beruntung orang kaya yang senang bersedekah (QS [2]:161, [3]:92, [79]:8-10) di saat sebagian orang menumpuk hartanya. Ia suka membantu sesama keluar dari kesusahan. Sesungguhnya tangan di atas adalah kemuliaan (HR Bukhari).
Kenikmatan sosial pun akan sirna atau ditinggalkan sebagaimana juga kenikmatan material. Jangan sampai berlebihan mencintainya karena bisa menjadi penghalang untuk meraih kenikmatan spiritual nan abadi. Wallahu a'lam bish shawab.