REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Empat Muslimah yang tergabung dalam komunitas 'Muslimah Pembuat Perubahan' dari Vermont, barat laut Amerika Serikat, membacakan puisi. Pada puisi tersebut disampaikan pesan mereka tentang menjadi Muslim di Amerika.
Setelah lima bulan terbentuk saat perlombaan pembacan puisi, komunitas tersebut turut berkompetisi pekan ini di acara 'Brave New Voices' yang berisi para pemuda yang berkompetisi membaca puisi secara dari berbagai negara di Washington DC.
“Kami menulis puisi tentang berbagai hal yang tak mampu kami simpan dalam diri. Kami harus ungkapkan berbagai hal tentang keperdulian kami tentang Islam,” ujar Kirin Waqar (16), gadis Pakistan yang tinggal di Burlington Selatan seperti dikutip Qantara.de, Rabu (13/7).
Judul-judul puisi seperti 'Mimpi Amerika', 'Selamat Datang', serta 'Bunglon' menjadi pemicu semangat empat gadis untuk datang ke Negeri Paman Sam. Para pengungsi Suriah dan berbagai tantangan mereka hadapi sendiri, misalnya kejelasan identitas empat gadis tersebut di AS dengan asal keluarga mereka.
Empat gadis tersebut membacakan salah satu puisi yang berjudul 'Bunglon'.
“Kami tidak akan pernah menjadi putih hanya berpura-pura. Kami bersembunyi di balik cermin besar dan tidak yakin siapa kita sebenarnya. Afrika-Amerika atau Pakistan-Amerika? Air mata yang mengalir di wajah kita. Tetesan air mata membentuk pelangi melengkung sempurna. Merah, oranye, kuning, hijau, biru, ungu, atau yang mana aku? Kita yang mana? Mungkin kita campuran. Mungkin kita banyak. Kombinasi warna. Mungkin kita adalah satu,” ujar Waqar dengan intonasi nada meninggi.
Melalui puisi, Lena Ginawi (15) yang lahir dari ayah asal Mesir dan ibu dari Yaman, mengingkan orang lain tahu bahwa dirinya tak ingin orang lain berpikir bahwa Islam merupakan agama yang dicap sebagai terorisme.
“Karena Islam bagi saya adalah agama yang menjunjung tinggi perdamaian. Apapun yang teroris lakukan tak ada hubungannya dengan Islam,” tegas Ginawi.
Salah satu anggota Komunitas Penulis Muda, Sarah Gliech mengatakan, keempat gadis tersebut memenangkan uji coba di Vermont untuk bersaing di Festival 'Brave New Voices'. Mereka tidak hanya memiliki pesan yang kuat.
“Tetapi mereka juga bersedia membahas berbagai isu yang mereka ungkapkan dalam puisi mereka, menjawab pertanyaan, dan memanfaatkannya sebagai pltaform untuk hal-hal positif dan menciptakan perubahan,” kata donatur kelompok empat gadis pemberani itu.
Sebelum menginjak usia 15 tahun, Waqar mengatakan bahwa ia mencoba untuk mengasimilasi mengenakan pakaian Amerika. Lalu pada usia 15 tahun, Waqar memutuskan untuk mengenakan jilbab karena lebih mementingkan agama Islam.
Di sekolah menengah, Waqar mengatakan ia mencoba untuk mengasimilasi mengenakan pakaian Amerika. Kemudian pada 15, ia memutuskan agamanya lebih penting dan mulai mengenakan jilbab. Waqar akhirnya diminta menjawab pertanyaan tentang pakaian yang dikenakannya.
“Sungguh menakjubkan. Kami akan berbicara tentang stereotip umum seperti di berbagai negara Muslim lain, serta pandangan budaya terhadap agama. Kami berbicara meliputi banyak hal,” kata Waqar.
Waqar melanjutkan, dirinya masih sering mendapat tatapan dan pandangan sinis ketika ia keluar dan berjalan di depan umum. Terkadang ia juga merasa takut.
Penggagas kompetisi pembacaan puisi, Hawa Adam mengatakan, tantangan lebih besar ketika saat ia tumbuh dewasa sebagai Muslimah berkulit hitam di sekolah yang sebagian besar berkulit putih di Burlington Selatan. Ia merasa beberapa siswa mengejeknya. Ia juga anak perempuan satu-satunya yang mengenakan jilbab di sekolah tersebut pada saat itu. Kini, ia hadir di SMA Burlington yang diisi beragam siswa dari berbagai ras.
“Tapi kami merasa dipisahkan karena sebagian besar teman kami Muslim dan berkulit hitam,” papar Hawa.
Melalui gerakan 'Muslimah Pembuat Perubahan' adalah cara bagi Hawa untuk berekspresi dan berhubugan dengan orang lain. Hawa mengaku, orang tuanya pindah ke Vermont dari Somalia ketika ia berusai lima tahun untuk melarikan diri dari perang di Somalia.
“Banyak orang yang datang kepada kami usai pertunjukkan. Mereka mengatakan puisi yang kami bacakan rupanya mirip dengan apa yang mereka alami,” tutur Hawa.