REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Yusuf Mansur
Seorang ayah berkata kepada anaknya, “Udahlah ... nggak usah kaku. Allah juga Mahatahu. Tak apa-apa nggak Jumatan. Susah sekarang cari kerja. Entar sambil doa. Dapet kerjaan yang bisa shalat lagi.” Sang anak menjawab, “Shalat biasa ya juga susah. Kecuali Maghrib dan Isya.”
Sang ayahnya kembali berkata, “Ya mau diapain? Ayah ya lagi susah. Cuma kamu yang ayah andelin buat keluarga.” Akhirnya si anak kompromi, menjalankan political father. Kompromi dalam ketidakberdayaan.
Di tempat lain, ada seorang ibu. Sambil membelai anaknya, sang ibu berkata, “Cari kerja itu susah. Nggak apa-apa buka jilbab.” Ini political mom atau mom's politic. Sang gadis menangis.
Susah payah ia berusaha mengenakan jilbab. Saat menemukan ketenangan berjilbab, bukannya dimotivasi bahwa rezeki itu di tangan Allah dan pasti ada jalan buat rezeki, sang ibu malah mendudukkannya pada posisi sulit. “Nanti pulang kerja kamu pakai aja. Selama di sana, buka.”
Di tempat yang lain, ada political wife atau political husband. “Istri kudu nurut suami kan? Mesti tahu juga apa yang disenangi suami? Saya ini suka minum. Kamu sebagai istri harus minum. Temani saya. Belajar. Entar juga doyan.”
Masih ada lagi, political corporate. “Tak apa-apa, haram-haram sedikit. Mau diapain...” Atau political school, “Nggak ada lagi tahun ini ngaji-ngaji di awal masuk kelas. Nggak ada Dhuha. Semuanya kejar pencapaian nilai. Jangan leha-leha...”
Dan masih banyak lagi political-political yang lain. Entah ini bahasa Inggrisnya benar atau salah, saya tiba-tiba berpikir tentang political-city dan political state. Dahsyat pengaruhnya. Lalu saya melihat ucapan-ucapan gubernur dan presiden. Saya melihat sikapnya. Saya melihat pendiriannya. Saya melihat prinsipnya.
Dan saya melihat perda-perda. Ya Allah... “(Yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat. (QS Hud [11]: 19).
Jika politiknya seorang ayah, hanya mencelakai anaknya. Jika politik istri, mencelakai suaminya. Dan sebaliknya. Jika politik kepala sekolah, mencelakai satu sekolah. Jika politiknya pengusaha, mencelakai seluruh karyawannya. Lalu bagaimana dengan seorang gubernur? Seorang presiden? Ayat-ayat seperti di atas banyak.
Tak hanya di satu tempat. Dan seram-seram. Mulai dari laknat Allah. Tak bisa lepas dari kejaran kesusahan dan azab. Bertambah dalam, berat, dan jauh, kesesatan dan penderitaan. Disebut kerugian lahir batin, dunia, akhirat, dan lain-lain.
Saya melihat negeri ini masih memiliki banyak harapan. Doa saya dan doa kita semua untuk semua yang diamanahi kekuasaan dan wewenang. Semoga bukan hanya diselamatkan dari shutdown fiskal. Melainkan juga diselamatkan dari shutdown-state dan shutdown-soul and spirit.