REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketua Umum MUI Kota Bandung KH Miftah Faridl mengajak masyarakat untuk berbagi kebahagiaan di bulan Ramadhan, dengan menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi dan terpercaya. Dia mengatakan Ramadhan disebut juga bulan zakat.
Di penghujung bulan suci ini setiap individu beragama Islam diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Selain zakat fitrah, volume mengeluarkan zakat-zakat lainnya juga meningkat di bulan suci ini. Zakat maal, zakat profesi, serta sejumlah infak dan sedekah, ditunaikan.
"Dengan zakat kita dapat saling menyapa tanpa melihat perbedaan kelas. Dengan zakat pula kita dapat berbagi kebahagiaan khususnya di kala memasuki hari kemenangan, Idulfitri,” kata ulama kharismatik cum Ketua Dewan Pembina Sinergi Foundation (SF) ini.
Kiai Miftah mengatakan melalui semangat kebersamaan dan cinta kasih, zakat dapat mengikat solidaritas sebagai satu komunitas. Ia mencontohkan, bahwa awal pertumbuhan masyarakat muslim di Madinah, Nabi membangun fondasi umat melalui jembatan zakat. Komunitas muslim pun tampak semakin kokoh, hidup dalam iklim sosial tanpa kesenjangan.
"Setiap anggota masyarakat dapat saling merasakan apapun yang menimpa saudara-saudaranya. Hingga datang saatnya ketika Nabi wafat, masalah yang pertama kali muncul dan menjadi perhatian penting khalifah Abu Bakar Shiddiq adalah zakat,” kata tokoh ulama ini.
Sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat Muslim dari waktu ke waktu, pelaksanaan ajaran zakat pun menghadapi permasalahan yang tidak pernah muncul pada zaman Nabi Muhammad dan para shahabatnya. Dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan empirik sosiologis yang berkembang mengikuti perjalanan masyarakat Muslim dari zaman ke zaman itu pula, seorang pemikir Muslim kontemporer, Yusuf Qardhawi, merumuskan berbagai terobosan fikhiyah dalam hal pelaksanaan zakat.
Berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya (maqashid syar’iyah) perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif bagi kemaslahatan umat.
“Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat,” kata Kiai Miftah.
Ketua Umum Yayasan Unisba ini menyampaikan lembaga-lembaga zakat yang di Indonesia saat ini telah diatur melalui undang-undang tersendiri dapat berperan lebih optimal. Lembaga-lembaga tersebut, bukan saja berorientasi pada dimensi mustahik, tapi juga pada dimensi muzaki.
Melalui sistem kelembagaan ini, para amilin bukan saja akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat secara konvensional. Amilin juga akan berfungsi sebagai jembatan kehidupan di antara lapisan-lapisan sosial yang sering tampak sangat senjang. Amilin bukan hanya memikirkan pola pendistribusian yang cenderung konsumtif, tapi juga akan memasuki wilayah pemberdayaan para mustahik secara lebih produktif.
Kiai Miftah menegaskan lahirnya lembaga-lembaga zakat, akan membuka ruang produktivitas yang lebih besar, dan akan memberikan dampak sosial yang lebih besar pula. Melalui fungsi kelembagaan seperti ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif yang relatif lebih baik, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun akan dilakukan dengan tetap mengacu pada ketentuan normatif tentang muzaki dan mustahik di satu pihak.
“Di pihak lain, setiap muzaki dapat menyerahkan kewajiban zakatnya melalui lembaga secara lebih tertib. Kemudian perolehan zakat itu disalurkan kepada mustahik dalam format yang lebih produktif membina umat, dengan tetap memperhatikan formula delapan asnaf seperti dinyatakan dalam Alquran,” kata Kiai Miftah.