Kamis 09 Jun 2016 06:02 WIB
Meraih Martabat Utama (2)

Dari Mukhlish ke Mukhlash

Mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menberikan ceramah Dzuhur di masjid agung sunda kelapa, Jakarta, Senin (22/6).
Foto: Republika/Prayogi
Mantan Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar menberikan ceramah Dzuhur di masjid agung sunda kelapa, Jakarta, Senin (22/6).

Oleh KH Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)

Tidak semua orang melakukan perbuatannya dengan ikhlas. Tidak semua orang yang melakukan perbuatannya dengan ikhlas (mukhlish) dapat disebut mukhlash. Dengan kata lain, semua orang yang memiliki kapasitas mukhlash sudah pasti mukhlish, tetapi belum tentu seorang mukhlish adalah mukhlash.  

Dari kata ikhlash lahir kata mukhlash, berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlish) tetapi Allah Swt yang proaktif untuk memberikan keikhlasan itu. Mukhlish masih sadar kalau dirinya berada pada posisi ikhlas, sedangkan mukhlash sudah tidak sadar kalau dirinya sedang berada dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah merupakan bagian dari habit dan karakternya di dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kalangan sufi memaksudkan konsep ikhlas itu sebagai mukhlash. Syekh al-Fudhail mengatakan: “Menghentikan suatu amal karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan suatu karena manusia adalah syirik”. Sahl bin Abdullah mengatakan, ikhlas merupakan ibadah yang paling sulit bagi jiwa, sebab diri manusia tidak punya bagian di dalamnya. Abu Said al-Kharraz menambahkan, riya’nya para ‘arifin (ahli ma’rifah) adalah lebih utama dari pada ikhlasnya para murid. 

Al-Sariy Rahmatullah ‘alaih mengatakan, barangsiapa berhias karena manusia dengan apa yang bukan miliknya, maka ia akan terlempar dari penghargaan Allah. Kata Ruwaim bin Ahmad bin Yazid al-Baghdadi, ikhlas adalah segala amal yang dilakukan pelakunya tidak bermaksud mendapatkan balasan, baik di dunia maupun di akhirat. Ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Abu Ya’kub al-Susiy Rahimahullah mengatakan, barang siapa melihat dalam keikhlasannya suatu keikhlasan, maka keikhlasannya itu masih memerlukan keikhlasan lagi. 

Jika masih dalam kadar mukhlish maka yang bersangkutan masih riskan untuk digoda berbagai maneuver iblis, karena masih menyadari dirinya berbuat ikhlas. Sedangkan dalam kadar mukhlash, Iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi berhasil mengganggunya karena langsung di-back-up oleh Allah Swt.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement