REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta melakukan seleksi calon penerima beasiswa 5 ribu doktor. Dari 30 calon penerima beasiswa, 20 di antaranya menjalani tes dan uji kompetensi di Kampus Pascasarjana UIN Suka, Senin (30/5).
"Sisanya mengikuti tes di wilayah masing-masing," tutur Direktur Pascasarjana UIN Suka, Noorhaidi Hasan. Pada tahun kedua ini, Kementerian Agama (Kemenag) melonggarkan peraturan seleksi dengan memperbolehkan peserta mengikuti ujian di luar kampus tujuan.
Noorhaidi menjelaskan, beasiswa 5 ribu dokter ini merupakan program Kemenag yang bertujuan mempercepat pengembangan sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi agama islam. Baik negeri maupun swasta. Program ini diperuntukkan bagi tenaga pengajar yang telah memiliki nomor induk dosen nasional.
Sejak 2015, Kemenag menargetkan pemberian beasiswa kepada seribu mahasiswa doktoral setiap tahunnya. Meski program ini ditargetkan akan selesai pada 2019, menurut Noorhaidi, bukan hal yang mustahil jika beasiswa serupa masih lanjutkan untuk tahun-tahun setelahnya. Pasalnya jumlah lulusan program doktor di Indonesia masih terbatas.
"Dari seribu, 750 mahasiswa kuliah di kampus dalam negeri. Sementara kuota 250 lainnya untuk mahasiswa yang kuliah di luar negeri," tutur Noorhadi. Namun demikian, ia menuturkan, kuota mahasiswa luar negeri tersebut tidak pernah terpenuhi. Banyak calon penerima beasiswa yang kesulitan memenuhi syarat TOEFL atau IELTS, dan LoA.
Selain dibebaskan dari biaya perkuliahan, selama menempuh pendidikan doktor, para penerima beasiswa memperoleh akomodasi berupa uang saku Rp 4 juta per bulan. Ditambah dengan uang untuk akomodasi tempat tinggal Rp 500 ribu per bulan. Sementara penerima beasiswa di luar negeri mendapatkan jumlah akomodasi yang disesuaikan dengan tempat tinggalnya.
Namun beasiswa 5 ribu doktor hanya diberikan untuk program-program perkuliahan khusus. Di UIN Suka sendiri, beasiswa ini hanya diberikan pada dua program perkuliahan internasional, yakni Islamic Toughts and Moeslem Societies serta Kajian Islam dan Kearaban. Kedua perkuliahan tersebut menggunakan bahasa asing dan mewajibkan mahasiswanya mengikuti sandwich program di luar negeri di Timur Tengah dan Eropa.
"Kami mendapat kuota 24 mahasiswa untuk diterima di kedua program tersebut," kata Noorhaidi.