Pendapat ini juga senada dengan penjelasan Syekh Saleh al-Fauzan dalam Al Mulakhakhasul Fiqhi. Menurut dia, jika seseorang tidak membayar utang puasa sampai Ramadhan berikutnya, hukumnya ditentukan berdasar dua alasan. Pertama, jika tak bisa membayar puasa sampai Ramadhan berikutnya karena uzur syar'i, ia tak menanggung apa-apa selain qadha puasa.
Tetapi, jika telat mengganti puasa tanpa ada uzur syar'i, selain qadha puasa ia juga mendapat kafarat. Kafaratnya berupa memberi makan orang miskin di setiap hari yang wajib ia qadha. Jumlahnya 1.024 gram bahan makanan pokok di negeri masing-masing.
Syekh Saleh al-Fauzan menyarankan, jika sudah datang waktu Sya'ban, para Muslimah harus bersegera mengganti utang puasanya Ramadhan lalu. Ada baiknya membayar puasa dengan puasa berturut-turut. Sebabnya, meng-qadha adalah mengikuti apa yang dilakukan ketika tidak di-qadha. Berpuasa berturut-turut di bulan Sya'ban juga dianjurkan karena waktunya semakin mepet.
Meski begitu, jika waktunya masih luas tak mengapa membayar puasa secara terpisah dan tidak berturut- turut. Intinya jangan sampai waktu membayar dipilih akhir Sya'ban dan sampai bertemu Ramadhan berikutnya. Aisyah pernah berkata, "Ketika Rasulullah SAW masih hidup, saya pernah memiliki utang puasa Ramadhan dan saya tidak meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban karena posisi Rasulullah."
Sementara itu, Syekh Muhammad al-Utsaimin berpendapat orang yang masih memiliki utang puasa, tapi sudah masuk Ramadhan berikutnya ia hanya wajib meng-qadha. Meski membayar puasa orang tersebut tetap berdosa karena lalai tanpa ada uzur.
Soal memberi makan orang miskin, Syekh Muhammad al-Utsaimin dasar tersebut berasal dari hadis marfu yang statusnya sangat lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Orang yang belum membayar utang puasa hanya wajib meng-qadha. Allahua'lam.