Ahad 08 May 2016 12:52 WIB
Mengenang Bung Tomo Saat Wukuf di Arafah

Lima Tahun Silam, Sebelum Rumah Radio Bung Tomo Dibongkar

Pementasan drama kolosal Surabaya Membara sebagai peringatan Hari Pahlawan pada 10 November.
Foto:
Bung Tomo

Proses pemulangan jenazah menjadi menarik karena saat itu Bung Tomo juga sangat kritis terhadap kebijakan rezim Orde Baru.

Beberapa tahun sebelum wafat, pada 11 April 1978, ia sempat ditangkap dan dipenjara karena menyatakan kebijakan Presiden Soeharto melenceng. Garis politik Bung Tomo saat itu searah dengan sikap para tokoh senior pendiri Republik Indonesia, yang beberapa tahun setelah dia meninggal kemudian mendirikan Kelompok Petisi 50.

''Bapak wafat ketika tengah berhaji. Sebelum wafat dia mengeluh sesak napas'' lanjut Bambang. Sikap kritis ini kemudian menurun kepada putranya Mas Tom, yang kini terus aktif dalam berbagai kegiatan sosial.

Mas Tom lebih lanjut kemudian menuturkan, setelah media massa memberitakannya, peran Presiden Soeharto menjadi cukup besar sehingga jenazah bisa pulang. Dia memerintahkan para petinggi negara untuk mengusahakan pemulangan jenazah.

''Seingat saya, Pak Moerdiono dan pejabat Sekretaris Militer Pesiden, Syaukat Banjaransari, sangat banyak membantu. Tentu saja ada peran yang sangat besar dari Pak Natsir selaku ketua Rabithah Al-Islami,'' kata Bambang.

Benar saja, setelah melalui proses berliku, jenazah Bung Tomo baru bisa dipulangkan delapan bulan kemudian. Saat itu makam pun dibongkar. Otopsi jenazah untuk memastikan bahwa itu jenazah Bung Tomo dipimpin oleh ahli forensik, Muin Idris.

''Saya yakin itu jenazah ayah karena di bagian muka dekat hidungnya saat itu masih bisa dilihat adanya tahi lalat. Nah, proses otopsi usai, jenazah dibawa pulang. Semula akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi kami menolakkarena ayah sudah berwasiat agar bila meninggal dimakamkan di pekuburan biasa saja,'' tutur Bambang.

Terkait soal pemulangan jenazah ini, seorang keponakan pegawai Bea Cukai yang saat itu turut mengawal kepulangan jenazah Bung Tomo, menceritakan bila sang paman selama mengawal jenazah dalam perjalan Jeddah ke Jakarta tak berani menyentuh makanan dan minuman yang diberikan awak pesawat.

Alasannya, takut diracun karena Bung Tomo waktu itu disebut sebagai tokoh utama oposisi melawan Pak Harto. Ketika dikonfirmasi cerita ini, Mas Tom hanya mengangguk dan tersenyum.

''Ya itulah Bapak. Ya itulah bapak,'' ujarnya pendek.

Nah kenangan itu muncul kembali ketika sepekan silam menginjakan kaki di Padang Arafah. Memang tenda-tenda belum terlihat berdiri karena belum musim haji, tapi pepohonan yang menghijau yang dikenal sebagai 'pohon sukarno' terlihat masih sama. Uniknya, pada saat yang sama melalui ponsel pintar saya membaca berita mengenai pembongkaran rumah radio perjuangan yang dulu dipakai untuk mengobarkan perlawananan di arena Pertempuran 10 November 1945 Surabaya.

Diam-diam terasa ada tikaman  sedih yang tak tertahankan. Apakah bangsa ini sudah terkena amnesia sejarah? Dan, apakah mereka yang berkuasa sudah lupa pada sosok pahlawan yang memperjuangkan tanah air ini?

Ketika pertanyaan ini dilontarkan sembari memandangi pepohonan di Arafah, yang tampak hanya gelengan-gelengan daun dan dahan saja yang terlihat. Angin seakan berhenti digantikan gelora semprotan udara panas gurun sahara.

Slogan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, ternyata hanya gincu kampanye pemilu dan pilkada saja..!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement