REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, keragaman umat beragama di Indonesia sudah terjadi pada masa lalu. Para pendiri bangsa pun memiliki sikap bijak dalam menyikapi realitas keberagamaan tersebut.
“Founding fathers kita sangat bijaksana dalam melihat realitas Indonesia yang plural, beragam dan heterogen. Beliau-beliau mencari sebuah pijakan yang mampu menyatukan kita. Sebuah dasar yang mampu menjalin dan merajut keragaman itu adalah nilai-nilai agama,” terang Menag dikutip dari laman resmi Kemenag.go.id, Rabu (27/04).
Dalam acara itu, Menag didaulat menjadi salah satu narasumber pada Sarasehan Bintalidjuang dan Pembekalan Pabintal TNI AU Tahun 2016. Sarasehan yang berlangsung di Denma Mabes AU Cilangkap Jakarta Timur ini diikuti lebih 110 perwira Bintal di jajaran TNI AU se-Indonesia.
Dalam perspektif agama, lanjut Menag, Tuhan menciptakan keragaman agar manusia saling mengenal, bekerjasama, dan menyempurnakan. Dia menilai manusia adalah makhluk yang serba kekurangan. Karenanya, keragaman yang ada harus disyukuri. Dia pun meminta segala bentuk perpecahan harus dihindari. Salah satunya dengan mengamalkan ajaran dan nilai agama.
“Masyarakat kita adalah masyarakat religius. Undang-undang kita sarat akan nilai-nilai agama. Empat alenia dalam Pembukaan UUD, berisi tentang nilai-nilai agama. UUD kita juga sarat dengan nilai-nilai agama. Dasar Negara kita, Pancasila juga implementasi dari nilai-nilai agama juga,” kata Menag.
Menag tidak menutup mata terhadap adanya gerakan radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Menag mengakui bahwa agama mengajarkan ketaatan dan keyakinan mengakar yang terkadang berekses pada fanatisme dan ekstrimisme. Namun demikian, Menag menegaskan bahwa ekstrimisme tidak selalu lahir karena agama.
Menurut dia, tindakan ekstrem bisa jadi karena pelakunya merasa ada ketidakadilan, baik ekonomi, hukum, politik dan lainnya, yang mereka sendiri tidak mampu menyelesaikannya. Akbitnya, pelaku mencari jalan pintas hingga timbul tindakan radikal dan ekstrem. Dalam konteks seperti ini, lanjut Menag, agama dijadikan alat justifikasi.