REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Alquran dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Dr Muchlis Hanafi menilai saat ini terjadi penyusutan pembelajaran kitab kuning di pondok-pondok pesantren.
Kendati demikian, doktor dari Universitas Al Azhar Kairo, Mesir ini, berpendapat kitab kuning masih menjadi rujukan dan andalan pondok pesantren dalam proses belajar mengajar.
Menurut Muchlis, ada beberapa hal yang menyebabkan intensitas pembelajaran kitab kuning menurun di pondok pesantren.
Terutama adalah karena banyak dari pondok-pondok pesantren tersebut, yang juga membuka lembaga pendidikan formal, seperti Tsanawiah dan Aliyah.
Ketika pondok-pondok pesantren menyediakan lembaga pendidikan formal, mau tidak mau, kata Muchlis, mereka harus menaati tuntutan standardisasi mutu yang ditetapkan oleh otoritas terkait. Dalam konteks ini adalah Kementerian Agama (Kemenag).
"Sekarang ini kan pemerintah sedang giat-giatnya melakukan standardisasi dan sertifikasi sekolah-sekolah itu (Tsanawiah dan Aliyah). Jadi pesantren harus menyesuaikan dengan tuntutan itu," tutur lelaki yang juga menjabat sebagai Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Kemenag kepada Republika, Senin (11/4).
Ia menilai, pada titik inilah pembelajaran kitab kuning mulai sedikit terpinggirkan. "Misalnya menjelang ujian nasional, mau tidak mau, banyak waktu pembelajaran kitab kuning yang ditiadakan agar prestasi santri tidak memalukan. Sebab pembelajaran kitab kuning tidak termasuk formal," jelas Muchlis.
Prestasi santri, sambung Dewan Pakar Pusat Studi Alquran (PSQ) ini, merupakan hal yang dikejar. "Karena banyak orang mengukur mutu pendidikan dari pendidikan formal. Dan ini sangat berpengaruh terhadap pembelajaran kitab kuning,'' jelasnya.
Muchlis berharap, pondok pesantren yang membuka lembaga pendidikan formal, tetap mempertahankan pembelajaran kitab kuning. Sebab kitab kuning merupakan warisan intelektual klasik yang menguraikan ragam ilmu dalam Islam.