Senin 11 Apr 2016 15:38 WIB

Masjid Lautze, Dari Sewa Hingga Berposisi di Ruko

Rep: MGROL57/ Red: Agung Sasongko
 Umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta, Jumat (17/7). (foto : MgROL_45)
Umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta, Jumat (17/7). (foto : MgROL_45)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid ini unik, tampilannya berwarna merah, khas klenteng. Lokasinya terletak di daerah yang mayoritas warganya adalah keturunan Tionghoa, di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Keunikan masjid ini menurut Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei (YHKO) selaku pengurusnya, M. Ali Karim, adalah salah satu faktor pendorong rasa penasaran warga Tionghoa untuk datang dan mulai berkenalan dengan Islam.

Pada peringatan 25 tahun berdirinya masjid kental dengan nuansa Tionghoa tersebut, Sabtu (9/4), Ali menjelaskan alasan berdirinya. Masjid Lautze, yang berdiri di area ruko, didirikan karena melihat adanya pembatas antara masyarakat keturunan Tionghoa yang hendak belajar agama. Menurutnya, hal itu bisa dilihat misalnya sejak zaman Orde Lama berkuasa.

"Setelah peristiwa G30S, orang Tionghoa yang beragama itu sedikit sekali, nggak ada lima persen, yang lain (menganut, red) budaya saja," jelas Ali saat ditemui Republika.co.id setelah acara tasyakur 25 tahun Masjid Lautze dan YHKO.

Kemudian kebanyakan warga etnis Tionghoa, memilih untuk menjadi Nasrani atau penganut Buddha. Ali menjelaskan situasi itu mendorong berdirinya Masjid Lautze, untuk memberikan informasi tentang Islam pada masyarakat Tionghoa. Apalagi saat itu Islam dikenal oleh mereka dengan pandangan yang negatif.

Di awal masa berdirinya, banyak warga keturunan Tionghoa datang bertanya tentang Islam. Ali menceritakan, biasanya mereka menanyakan apa sebabnya laki-laki Muslim diperbolehkan untuk memiliki empat istri, dan kenapa dalam Islam penganutnya dilarang mengonsumsi babi. Lalu di masa modern, pertanyaan mengenai terorisme pun digulirkan warga yang penasaran.

Cara Masjid Lautze ajarkan Islam pada etnis Tionghoa, menurut Ali, bukan sekadar dakwah menggunakan kata-kata mutiara. Bedanya, di Masjid Lautze, ajaran yang diberikan adalah lebih banyak berbuat. Walau hanya sedikit mereka didorong untuk bisa melakukan sesuatu, dengan contoh dari masjid itu sendiri.

"Contohnya waktu membangun masjid ini, nggak ada uang ya sewa dulu, kalau tunggu kaya misalnya membangun masjid ya nggak kaya-kaya karena orang tidak pernah merasa kaya," lanjut Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement