Kamis 31 Mar 2016 04:57 WIB

Keblinger Bila Masyumi Dituduh Ingin Ubah Pancasila

Presiden Sukarno menghadiri konvensi Partai Masyumi.
Pemilu 1955

Menyinggung mengenai kelompok politik yang mana yang terus saja mengulang tudingan bahwa Partai Masyumi mau ubah Pancasila, Lukman mengatakan itu kelompok yang lama. Mengenai siapa kelompok itu, dia mengatakan mereka yang semenjak dahulu menjadi lawan atau ‘rivilitas’ Masyumi.

‘’Istiahnya ya kelompok lama yang selalu melagukan ‘lagu yang lama’, yakni semenjak era awal kemerdekaan. terutama mulai tahun 1950-an. Pada ajang Pemilu 1955 kelompok itu menyebut Masyumi sebagai ‘Sarekat Hejo’ (Sarikat Hijau),’’ katanya.

Setelah Dekrit Presiden hingga awal munculnya Orde Baru, ‘lagu lama’ itu makin kental disuarakan. Mereka ingin menyingkirkan Masyumi dari panggung politik dengan mengkaitkannya sebagai biang pemberontakan PRRI di Sumatra Barat.

‘’Tak cuma menuding, para pengikut mereka itulah yang mebuat teror langsung kepada Pak Natsir. Rumah beliau di Menteng di lempari batu dan diancam akan diserbu. Kemudian kelompok itu pun sibuk ingin membubarkan Himpunan Mahasiswa Ilam (HMI) dan mempreteli kekuatan kaum Muslim dengan menyebut secara pejoratif sebagai kaum sarungan yang ketinggalan zaman,’’ ujarnya.

Tak hanya kepada Masyumi, kelompok pemutar kaset ‘lagu lama’ tersebut, juga sibuk mengolok-olok Bung Karno. Bahkan sikap tak beradab itu kerap dilakukan di depan umum, bahkan langsung dihadapan Bung Karno.’’Pada sebuah pertemuan ulang tahun partai, mereka menyindir langsung Bung Karno sebagai presiden yang tak mampu memperbaiki keadaan dengan mengatakan: Mana mungkin negara bisa diatur oleh Presiden yang punya lima isteri,’’ katanya.

Dan hembusan suara 'lagu lama’ itu pun kemudian ikut menyeberang di era zaman Orde Baru. Isu 'anti Pancasila' kembali eksis dalam kekuasaan. Maka  'lagu lama' itu pun dipergunakan untuk menggusur kelompok Islam politik. Tindakan mereka kemudian semakin efektif karena mendapat pasokan dukungan lembaga ‘think-thank’  yang menjalin hubungan yang rapat dengan aparat intelijen Orde Baru di bawah pimpinan Ali Murtopo (Kepala Opsus) dan LB Moerdani. Sumber daya dan dana  kelompok ini pun luar biasa karena banyak pihak --termasuk perusahaan swasta-- yang ikut mendanai.

‘’Di akhir 1980-an, menjelang disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama, LB Moerdani menuding bahwa ada sekelompok orang yang tengah bergerilya agar kembali ke Piagam Jakarta. Kami tahu bahwa itu ditujukan kepada para ativis politik Masyumi seperti saya yang saat itu berkiprah di PPP,’’ ujar Lukman.

Uniknya lagi, sama halnya di masa Orde Baru, kelompok yang phobia terhadap umat Islam pun kemudian ikut naik kembali ketika terjadi peralihan kekuasaan, usai Suharto jatuh. Kekuatan mereka hanya terpotong sebentar saat LB Moerdani disingkirkan oleh Suharto sebagai Panglima ABRI dan kemudian penguasa Orde Baru itu merapat kepada kelompok Islam.

‘’Jadi kami sadar secara penuh, munculnya kembali omongan Masyumi ingin mengubah Pancasila, itu bagian dari ‘game’ politik. Dan di situ tampak lingkaran think-thank dan kelompok dan dukungan pengusaha/pemodal yang mana yang kini berada di sekitar kekuasaan mereka. Jawabnya, ternyata ya masih yang itu-itu juga,’’ tegas Lukman Hakiem.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement