Oleh Andi Irawan
Malu itu sebagian dari iman. Iman itu berada di surga, sedangkan ucapan keji itu merupakan kejahatan dan kejahatan itu berada di neraka (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
REPUBLIKA.CO.ID, Malu yang demikian, menurut An-Naisaburi adalah malu yang lahir dari keyakinan bahwa Allah mengetahui dan melihat segala aktivitasnya (QS Al-'Alaq:14). Hal senada dikemukakan hadis lain, "Malu kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu." Jawab para sahabat: "Sesungguhnya kami telah merasa malu, wahai nabi Allah. Kami bersyukur kepada Allah."
Beliau bersabda: "Bukan demikian. Orang yang malu pada Allah dengan sebenar-benarnya adalah orang yang menjaga kepalanya dan yang terekam di dalamnya; menjaga perut dan apa yang dihimpunnya dan ingatlah kalian kepada kematian dan bahaya. Barangsiapa menghendaki kampung akhirat maka tinggalkanlah perhiasan dunia. Barangsiapa mampu mengerjakan demikian, maka sungguh dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar rasa malu" (HR At-Turmudzi)
Malu yang demikian itu akan melahirkan akhlak mulia dan keteladanan bagi lingkungannya. Oleh karena itu rasa malu menjadi sangat urgen dimiliki kelompok manusia yang dapat menentukan warna masyarakat yakni para ulama dan pemimpin.
Wujud nyata dari malunya para ulama adalah ketika mereka mampu menjadi pelopor penerapan kebaikan yang mereka serukan dan ajarkan sekaligus pelopor dalam menjauhi segala bentuk kemungkaran dan maksiat. Allah sendiri di dalam Alquran mengutarakan betapa besar kemurkaannya kepada orang-orang yang mengatakan apa-apa yang tidak mereka perbuat (QS 61:3).
Wujud malu pada para amir adalah ketika mereka mampu bersikap amanah dan menegakkan keadilan. Sehubungan dengan itu Muhammad Al-Wasithi seorang ulama sufi yang hidup di tahun 331 H berkata: "Tidak akan merasakan kelezatan malu seseorang yang merobek ketentuan hukum atau melanggar janji"Dan, seperti kata Ibnu Atha': "Jika rasa segan dan malu telah hilang, maka tidak ada kebaikan yang tersisa di dalamnya".