Pada awal peradaban, awalnya angka memang dianggap sebagai hal yang merepresentasikan roh-roh, dewa, dewa, atau setan-setan. Dengan mengatahui angka maka dianggap seorang manusia memiliki kekuatan sihir, membuat mantera mantera, dan bisa membuat sesuatu. Ini pernah terjadi ketika para cenayang atau tukang sulap (alchemist) ingin membuat emas tiruan.
Namun, seiring dengan hadirnya agama samawi, secara perlahan hal itu dikikis. Ajaran dan perabadan Islam kemudian mengokohkan dan memberi dasar logikanya dengan merobek misteri menjadi hal yang bisa dinalar. Dan argumenatasi inilah yang kemudian turut pula menjadi alasan mengapa orang Indonesia dahulu pernah menyebut matematika atau ilmu hitung sebagai ilmu pasti.
Pada sisi lain, adanya dasar logika dalam memahami angka itu kemudian dapat menjawab pertanyaan mengapa kaum muslim menyukai angka ganjil. Dan sebagai jawabannya adalah karena dalam sebuah hadits disebutkan Rasul Muhammad SAW pernah berkata angka ganjil itu mendekatkan kepada eksistensi sebenar-benarnya dari Allah Swt yang tunggal (monoteisme).
Sedangkan dasar logika angka sembilan menjadi favorit, terutama di kalangan kaum sufi, karena angka ini melambangkan kesempurnaan. Sebab, setelah angka sembilan bilangan adalah kembali ke 0 (nol). Maka angka sembilan dipakai sebagai lambang ketertinggian (ultimate). Hal ini kemudian diekplisitkan dengan sifat Allah Swt yang jumlah 99 itu.