REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Perlakuan tak mengenakkan kerap dikaitkan dengan jilbab saya,"
kata Ayesha Durrani, mahasiswi Universitas Johns Hopkins, Maryland, Amerika Serikat, kepada Huffingtonpost, pekan lalu. Durrani mengaku, tindakan tersebut sering ia dapatkan ketika berada di ruang publik.
Sewaktu berbelanja di pusat perbelanjaan, ia dan teman Muslimahnya diolok-olok dengan mengaitkan mereka kepada terorisme.
Perlakuan diskiminasi tersebut juga ia rasakan saat sedang melakukan perjalan menuju kampus. Saat berada di transpostasi umum, seorang pria menuduhnya aneh karena menggunakan kerudung.
Tindakan diskriminasi tak terhenti sampai di situ. Tas ransel yang dibawa oleh Durrani disebut berisi bom. Penumpang lain bersifat tak acuh. Sementara, Ayesha merasa ketakutan karena sikap pria tersebut.
Diskriminasi yang diterima oleh Durrani memang hanya dilakukan oleh oknum, teman non-Muslimnya tidak melakukan hal tersebut. Kendati demikian, diakui atau tidak, ungkap Ibrahim Hooper, juru bicara Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR), sebuah kelompok advokasi Muslim, Muslimah AS sering memperoleh perlakuan kasar saat berada di tempat umum. Seperti, kekerasan verbal saat berada di restoran, penyerangan sehabis dari masjid dan lainnya.
Hooper mengungkapkan, buntut dari peningkatan diskriminasi ini membuat organisasinya tersebut menerima banyak laporan sehingga tidak memiliki jeda untuk bersantai-santai. "Kami bahkan tidak memiliki waktu untuk bernapas," ujar Hooper, seperti dilansir Aljazeera.