REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, menyesalkan adanya kegiatan hura-hura yang bertolak belakang dengan anjuran Islam dalam rangkaian kegiatan pemantauan gerhana matahari total (GMT) di Desa Ngatabaru, Kecamatan Biromaru.
"MUI sangat tidak mendukung dengan budaya para wisatawan asing, yang mereka lakukan di Desa Ngatabaru Kecamatan Biromaru," ungkap Ketua MUI Kabupaten Sigi Sayyid Ali Aljufrie di Palu, Rabu (9/3).
Dia mengatakan umat Islam sedang melaksanakan Shalat Sunnah dua rakaat untuk memuji kekuasaan sang pencipta, serta memohon ampun kepada sang pencipta atas adanya fenomema alam GMT yang terjadi di daerah tersebut. Namun wisatawan asing malah menyambutnya dengan rangkaian kegiatan seperti pesta miras serta pesta-pesta dugem dan DJ Mayor.
(Baca: MUI Sumbar: Gerhana Matahari adalah Teguran dari Allah SWT)
Kegiatan seperti itu tidak hanya dilakukan pada 9 Maret melainkan sejak 7 maret dan akan berakhir pada 11 Maret. "Gerhana matahari bukanlah momen untuk berhura-hura, pesta pora yang bertabrakan dengan nilai-nilai Islam dan budaya yang diyakini oleh masyarakat di Sulawesi Tengah," ujarnya.
Ia menegaskan gerhana matahari merupakan suatu peringatan kepada manusia tentang kejadian hari kiamat, yang mana dalam Alquran disebutkan dalam surah Alqiyamah ayat 8-9 dan apabila bulan telah hilang cahanya (Gerhana), dan matahari dan bulan di kumpulkan".
Menurut Ali Aljufrie, saat terjadi GMT, semestinya wisatawan harus menghargai umat Islam di daerah tersebut yang sedang melaksanakan shalat untuk memuja dan memuji serta memohon ampun kepada Tuhan. "Mestinya harus ada etika yang dikedepankan oleh para wisatawan mancanagera, saat mengunjungi daerah orang lain, yang mayoritas beradat, berbudaya dan beragama," tegasnya.
Parahnya lagi, sebut dia, sebagian umat Islam di daerah tersebut turut serta mengikuti rangkaian kegiatan negatif tersebut, pada momen pemantauan GMT 9 Maret dari puncak pegunungan Ngatabaru.