Sabtu 20 Feb 2016 06:11 WIB

Memahami Definisi Zuhud

Dengan sikap dan kesalehannya, Rabiah mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.
Foto: Sojo.net/ca
Dengan sikap dan kesalehannya, Rabiah mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.

Oleh: Ina Salma Febriany

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Merasa cukup (qanaah) terhadap apapun yang kita peroleh memang gampang-gampang susah. Ego diri, kurang bersyukur serta melihat seseorang yang lebih tinggi dan memiliki dari kita adalah penyakit-penyakit yang semestinya harus kita obati. Kendati demikian, tak sedikit pula orang-orang di sekeliling kita yang memilih untuk zuhud meski ia memiliki banyak harta, jabatan yang tinggi dan kekayaan yang tak ada habisnya. Lalu, apa definisi zuhud yang sebenarnya?

Zuhud dalam sesuatu (al-zuhd fi al-sya’i) menurut bahasa artinya berpaling dari sesuatu yang bersifat duniawi karena menganggapnya hina, remeh, dan yang lebih baik adalah tidak membutuhkannya. Di dalam Alquran banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, kabar tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, dan kabar tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara’ ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan tetapi bukan pula memakan makanan yang sudah kering atau mengenakan pakaian yang kurang layak (lusuh).

Sedangkan pengertian zuhud yang paling baik dan menyeluruh menurut Hasan bin Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah ialah zuhud di dunia bukan hanya berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta tetapi jika engkau meyakini bahwa apa yang ada di tangan Allah itu lebih baik daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah yang menimpamu maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada tidak tertimpa musibah sama sekali.

Definisi terakhir inilah yang dinilai paling baik dan menyeluruh oleh Ibnul Qayyim sebab di dalamnya ada keridhaan seorang hamba terhadap takdir yang menghampirinya; baik maupun buruk. Itu artinya, Ibnul Qayyim tidak hanya memberikan pandangan bahwa secara fisik zuhud itu harus miskin dan lusuh, tapi juga lebih dari itu. Hakikat zuhud ialah membuahkan keridhaan terhadap takdir Allah dan Allah pun akhirnya meridhai kita.

Menurut Imam Ahmad zuhud menunjukkan tiga perkara. Pertama, meninggalkan yang haram dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam. Kedua, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang khas atau khusus. Ketiga, meninggalkan kesibukan selain mengingat Allah dan inilah zuhudnya orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang memahami betul zat Allah dan kekuasaan-Nya).

Sehubungan dengan keutamaan zuhud, hadits berikut ini menggambarkan tentang anjuran Rasulullah untuk bersikap zuhud. Dari Abul Abbas, Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, ia berkata, seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya maka saya akan dicintai Allah dan manusia,” maka Rasulullah bersabda, “Zuhudlah engkau di dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah engkau dalam hal yang dicintai manusia, niscaya manusia mencintaimu,” (HR Ibnu Majah)

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa seutama-utamanya perbuatan yang dapat mendatangkan cinta Allah dan manusia ialah zuhud. Rasulullah melalui hadits ini juga menganjurkan kita supaya menahan diri dari memperbanyak harta dunia dan bersikap zuhud. Beliau bersabda, ‘Jadilah kamu di dunia ini laksanan orang asing atau pengembara,’ dan beliau juga besabda, ‘Cinta kepada dunia menjadi pangkal perbuatan dosa,’ atau dalam hadits lain Rasul juga bersabda, ‘Orang yang zuhud dari kesenangan dunia menjadikan hatinya nyaman di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang yang mencintai dunia hatinya menjadi resah di dunia dan di akhirat,’

Menurut Ibn Daqiqil dalam Syarhul Arba’in Nawawiyyah, melalui beberapa hadits tentnag zuhud di atas, bahwa Rasul menasehati (khususnya) salah seorang sahabat yang bertanya di atas dan umumnya untuk para umatnya agar menjauhkan diri dari menginginkan sesuatu yang berlebih-lebihan, yang dimiliki orang lain. Jika seseorang ingin dicintai lalu meninggalkan kecintaanya kepada dunia, mereka tidak akan berebut dan bermusuhan hanya karena mengejar kesenangan dunia yang sifatnya sementara.

Rasulullah Para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari negeri dunia dan menempatkannya di akhirat. Dengan pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud seperti Ibnul Mubarak, Imam Ahmad, Waki’, Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.

Perkara-perkara yang berkaitan dengan zuhud ada enam macam, dan seseorang tidak layak mendapat sebutan zuhud kecuali menghindari enam macam yakni harta, wajah, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain daripada Allah. Namun, menghindari enam macam disini bukan berarti menolak hal milik atau sengaja memiskinkan diri. Kita tahu bahwa Nabi Daud as dan Sulaiman as adalah orang yang paling zuhud pada zamannya tapi dua Nabi Allah ini memiliki harta yang tak terbilang banyaknya, kekuasaan dan juga isteri yang tidak dimiliki orang lain selain mereka. Dan hal-hal yang telah kita ketahui pula bahwa pastilah Rasulullah Saw ialah orang yang paling zuhud tapi beliau dianugerahi sembilan isteri. Para sahabat pun; semisal Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud tetapi mereka memiliki harta-harta yang melimpah ruah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement