REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Islamofobia, sebuah penyakit yang menggerogoti integritas masyarakat saat ini, dipicu oleh isu radikalisme dan ekstremisme. Terutama di negara-negara Barat, umat Muslim tak jarang menjadi target serangan Islamofobia.
Salah seorang reporter dari Marie Clarie, Laila Haidrani, berbagi pengalaman Islamofobia yang dihadapinya di Inggris.
Haidrani pertama kali mengalami Islamofobia ketika ia menghadiri syukuran rumah baru koleganya. Haidrani memang tak menampakkan identitasnya sebagai Muslim, dan temannya menghidangkan sosis dari daging babi ke atas piringnya.
“Saat itu pertama kalinya saya sadar, saya memaksa diri sendiri untuk menyembunyikan identitas saya,” tulis Haidrani, dilansir dari Marie Clarie.
Saat itu, kawannya mulai menyadari ia sama sekali tak menyentuh makanan yang dihidangkan. Ketika ditanya apakah Haidrani vegetarian, ia hanya menggeleng dan temannya menyimpulkan Haidrani hanya tak dapat makan daging babi—dan disebutkanlah bahwa wanita asal Inggris itu seorang Muslim. Haidrani merasa saat itu lebih baik berpura-pura menjadi "orang lain" ketimbang mengakui dirinya yang sebenarnya—seorang Muslim.
Bagi Haidrani, tumbuh sebagai Muslim pascaperistiwa 9/11 bukanlah hal yang mudah. Ia mengalami sendiri, Islamofobia bukan sekadar cerita dalam halaman terdepan koran, Islamofobia ada, hidup di masyarakat Britania. Keraguan, kecurigaan, prasangka—hingga serangan hate crime meningkat hingga 50 persen terhadap Muslim, pascaserangan Charlie Hebdo.
Dalam kesehariannya, Haidrani merasakan urgensi untuk memilih tidak menyebutkan agamanya—misalnya dalam survei, karena mengkhawatirkan bagaimana jawabannya akan mengundang penilaian tidak menyenangkan. Sementara di dunia maya, Haidrani pun merasa takut jika tidak mengunggah ulang post mengutuk serangan teroris, diamnya akan diartikan sebagai persetujuan.
Ia frustrasi, kesal, menganalogikan situasi ini dengan ketika ada orang yang menolak duduk di dekat seorang anak dan ayahnya yang berkulit gelap—karena prasangka si ayah membawa sesuatu yang mencurigakan dalam tas. Ia kesal dengan fakta, bahkan ketika wanita mengenakan burqa mendapat pandangan menghakimi karena berbelanja di toko pakaian semacam Topshop.
Haidrani yang belum berhijab atau mengenakan burqa memang tak kelihatan jelas sebagai Muslim. Namun, dengan situasi saat ini, ia merasa ragu untuk memulai mengenakan pakaian yang memperlihatkan identitasnya sebagai Muslimah. Ia melihat wanita-wanita berhijab menjadi sasaran hate crime, dan itu menakutkan, hanya melihatnya.
“Inggris yang saya kenal telah berubah,” Haidrani berkomentar.
Akan tetapi, Haidrani berjanji, selanjutnya ia tidak ingin hidup dalam ketakutan karena terkungkung dalam penghakiman masyarakat atas agamanya yang bukan mayoritas di Inggris. Baginya, saat ini masih ada harapan untuk menghapuskan Islamofobia, misalnya, dengan disorotnya pasar Muslim oleh raksasa mode Dolce & Gabanna, yang membawa pesan kuat memberantas prasangka buruk berbau diskriminasi ras maupun agama.