REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Cerita dibalik upaya Muslim Australia mencari jodoh begitu dinamis. Proses informal tapi mengena.
Seperti dialami Muslimah Australia, Toltu Tufa yang ditanya tanggapannya soal WikiLeaks dan Julian Assange. Di sisi lainnya, percakapan bisa lebih personal. Seperti Husna Pasha yang ditanya tentang kisahnya mengatur pernikahan di usia 20 tahun.
Muslimah India-Australia ini berpikir menikahi pria ideal versi orang tuanya adalah suatu kebanggaan. Tapi ternyata ia salah, dua tahun kemudian, ia pulang ke rumah orang tuanya dan mengaku tidak bahagia.
Seorang konsultan kesetaraan dan keragaman gender, Maria Dimopoulos telah menghadiri kencang singkat Muslim ini untuk kedua kalinya. Ia mengaku, kencan pertamanya membuat pandangan tentang perempuan Muslim jadi berbeda.
Dimopoulos mengatakan ia punya pertanyaan tersendiri untuk perempuan. "Saya penasaran apakah perempuan Muslim menggunakan hijab untuk menghadapi feminisme. Kemudian saya mempelajari, bahwa ternyata tidak demikian," katanya.
(Baca: Kencan Singkat Muslim Australia)
Dimopoulos mengatakan penggunaan hijab adalah dimensi lain dari feminisme. "Ini bisa memperkuatnya," kata dia. Dimopoulos duduk berbicara dengan Muslimah yang bekerja sebagai penulis dan penyunting Sultana's Dream, sebuah majalah Muslimah, Hanifa Deen.
Deen tidak menggunakan cadar dan mengatakan bahwa itu adalah pilihan setiap Muslimah. Deen mengatakan penggunaan cadar disebutkan dalam Hadits. "Hadits itu ditulis hanya oleh pria. Saya bahkan tidak sepakat dengannya," kata Deen.
Ia mengaku keberatan dengan pandangan media yang selalu mengutip pria jika ada persoalan Islam. Seakan argumen mereka mewakili seluruh Muslim. "Orang-orang tidak bertanya pada perempuan," katanya.
Assafitri sepakat dengan hal itu. Menurutnya, Muslimah di Australia sangat brilian dan dermawan. Namun sayangnya, mereka tidak pernah disorot ke permukaan. "Saya ingin memberikan pada mereka sebuah kesempatan," katanya.
Assafitri menyadari bahwa ia mungkin masih harus berjuang untuk mengubah pikiran dan pandangan siapa pun yang menolak Islam. Namun dengan komunitasnya ini, kesempatan mengenal Islam terbuka bagi siapa saja yang siap membuka pikiran.
Mereka kebanyakan datang karena ingin merayakan multikulturalisme dan mempelajari keberagaman. Karena setiap Musliman memiliki cerita, seperti dilecehkan di jalan secara fisik atau verbal. Sareh Salarzadeh bahkan pernah dilempar sebotol bir.
Ia pernah juga hampir ditabrak dengan sengaja di jalan. "Kita tidak bisa menunggu Martin Luther King atau Gandhi, tapi kita bisa membuat model percakapan yang dibawa ke seluruh Australia," katanya.
Assafitri percaya bahwa komunitasnya kreatif, berani dan berusaha. Sehingga orang-orang bisa belajar lebih, bisa lebih tulis dan yakin. Tujuan utama aktivitas ini adalah menciptakan komunitas yang membaur dan saling menghormati melalui percakapan.