REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, hijab makin diakui oleh dunia. Uniknya tentu ketika sentimen anti-Muslim juga meningkat, tampak raksasa-raksasa mode internasional melirik pakaian syariat Muslimah tersebut menjadi koleksi mereka. Sebut saja raksasa mode Italia, Dolce & Gabanna (D&G) yang meluncurkan koleksi hijab dan abaya di awal bulan ini, serta H&M asal Swedia yang mulai memasang model berhijab dalam katalog-katalog pakaian koleksi mereka.
Hijab, seiring waktu, makin sulit dipisahkan dari fashion atau tren mode. “Kalau misalnya disambungkan dengan kata fashion, kita tidak menghindari itu. Memang fashion kan sesuatu yang kita pakai. Sebenarnya hijab sendiri memiliki fungsi lebih besar dari fashion,” tutur Ketua Hijabers Community, Syifa Fauziah pada Republika.co.id, Selasa (2/2).
Putri mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Tuty Alawiyah tersebut merasa sah-sah saja jika hijab dan mode dipadukan, asalkan masih dalam koridor syariat. Norma syariat, adalah yang terpenting, yaitu hijab harus menutupi aurat, tidak tembus pandang, dan tidak membentuk lekuk tubuh penggunanya.
Akan tetapi ada aspek-aspek lainnya seperti etika dan estetika yang mengiringi. Syifa menjelaskan, etika maksudnya ialah bagaimana Muslimah mengenakan baju sesuai okasi atau momen yang tepat, dan digunakan dengan baik. Estetika pun penting, dalam artian bukan kelihatan glamor, tetapi jika ada yang melihat dengan tampilan yang sederhana harus kelihatan sesuai.
Mode dalam berhijab pun dapat dipandang dari sisi dakwah, Syifa menambahkan, dengan mengenakan hijab sesuai mode dan tetap mengikuti norma, mungkin dapat menginspirasi Muslimah yang belum berhijab untuk menyusul menutupi auratnya.