Rabu 03 Feb 2016 10:40 WIB

Membiasakan Kebaikan

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Damanhuri Zuhri
Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama Khulafur Rasyidin
Foto: blog.uns.ac.id
Shalat khusyuk (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat waktu fajar menjelang, kita tak ketinggalan dua rakaat sebelum Subuh. Saat imam shalat Subuh mengumandangkan takbiratulihram, kita sudah berdiri di shaf paling depan. Seusai salam, kita mengambil mushaf. Tilawah satu juz pun khatam tak kurang dari satu jam.

Saat matahari menyemburat, kita masih bersimpuh di masjid. Lalu dengan tenang mendirikan dua rakaat shalat syuruq. Semua kebaikan rasanya terlalu sayang kita lepaskan hari itu.

Namun, saat kita pulang ke rumah. Kembali ke tumpukan tugas-tugas di kantor. Bercengkerama dengan klien di gedung-gedung pencakar langit. Menandatangani perjanjian kontrak miliaran rupiah. Kita lalu lupa bagaimana lezatnya malam-malam saat muhasabah itu.

"Iman itu bisa bertambah dan berkurang," kata seorang sahabat Nabi SAW suatu ketika. "Bertambah dengan amal, berkurang dengan maksiat." Menjadi wajar jika memang siklus keimanan seseorang adakalanya bertambah, tak pelak kerap kali turun.

Namun, alangkah lebih baik jika kita punya alarm waspada seperti Hanzalah. Ia tak melakukan maksiat. Justru mungkin sesuatu yang dianjurkan untuk berkumpul dengan keluarga. Namun ia takut. Jangan-jangan riang gembiranya ia bercengkerama dengan keluarga melalaikannya dari mengingat Allah SWT.

Jangan pula keimanan kadang turun menjadi sebuah justifikasi jika seseorang sah-sah saja melakukan tindakan maksiat. Manusia memang tempat salah dan khilaf. Namun, bukan sebuah dosa yang terencana. Iman memang adakalanya turun. Memberi ruang bagi sifat kemanusiaan kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement