REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prancis dikenal sebagai negara yang memisahkan antara agama dan kehidupan pemerintahan. Tidak pernah dilakukan sensus data ras atau etnis penduduknya. Namun perhatikan lekat-lekat, kenyataannya, imigran Muslim di Prancis dibayangi kemiskinan dan diskriminasi.
Terlebih, kunci untuk memahami serangan teror Paris beberapa waktu lalu dan dugaan pemuda muslim Paris bergabung dengan ISIS, mungkin terletak pada peretasan bayang-bayang kemiskinan dan diskriminasi atas Muslim di Prancis.
“Kenyataannya, sulit untuk menjadi Muslim yang hidup di Prancis,” jelas CEO Youthonomics dan mYgration.com, Felix Marquardt.
“Muslim di Prancis lebih miskin dari rata-rata populasi penduduk. Anak-anak mereka bersekolah di tempat yang lebih rendah kualitasnya. Mereka hidup di area yang lebih kumuh. Terdapat diskriminasi ekstrem jika muslim mencari pekerjaan di Prancis. Khususnya pria Muslim.”
Hal itu bisa menjelaskan catatan dari Perdana Menteri Prancis Manuel Valls, yang menyatakan kira-kira 1800 warga negara Prancis kini berada di Irak dan Syria untuk bergabung bersama ISIS. Angka tersebut nyaris naik tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir.
ISIS melakukan rekrutmen di seluruh dunia, masuk melalui celah atas rasa terisolir, termarginalkan. Menelaah pemaparan Marquardt, bagaimana jika perasaan semacam itu yang timbul dalam diri Muslim Prancis?
“Pada akhirnya, banyak anak-anak terpengaruh radikalisme. Mereka pergi ke masjid yang salah,” ujarnya. “Berubah dari kehidupan bebas remaja pada umumnya, bangga untuk ‘berjihad’.”
Tren radikalisme menjangkiti dunia, dan pola rekrutmen semacam itu memang tidak baru. Namun situasi saat ini membahayakan, di mana rekrutmen itu bisa lebih mudah diterima dan menjaring anggota baru.