REPUBLIKA.CO.ID, Al-Haya' artinya adalah malu, yaitu sikap menahan diri dari melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya karena takut mendapat celaan atau penghinaan dari perbuatan tersebut.
Kata malu banyak dibahas dalam kajian ilmu akhlak. Ibnu Mskawih mengatakan malu adalah sikap menahan diri karena takut melakukan perbuatan yang buruk, yang karena itu ia berusaha menjauhi agar tidak mendapat celaan atau penghinaan.
Dalam Alquran, kata al-haya' diungkapkan dengan memberikan tambahan tiga huruf, yaitu alif, sin, dan ta, yang dikombinasikan menjadi kata istahya. Kata ini dipakai dua kali dalam Alquran, ''Sesungguhnya Allah tidak segan (la yastahyi) membuat perumpamaan berupa nyamuk ...'' (QS Al Baqarah [2]:26). Dalam ayat ini, kata yastahyi berarti melakukan perbuatan yang merupakan hak.
Lalu dalam ayat lain disebut, ''Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan agak kemalu-maluan...'' (QS Al Qashash [28]: 25). Kata agak melau-maluan dalam ayat ini bukan berarti malu mengerjakan yang baik, tetapi karena alasan tata krama dan kesopanan.
Menurut Al-Jurjani, ahli bahasa Arab, tasawuf, dan mantik, malu terbagi atas dua bagian. Pertama, malu yang bersifat pribadi, yaitu sifat malu yang diletakkan oleh Allah pada setiap orang, misalnya rasa malu membuka aurat. Kedua adalah malu yang bersifat imani, seperti keseganan seseorang yang beriman melakukan perbuatan dosa karena takut kepada Allah SWT.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, seorang ahli fikih, malu yang bersifat imani adalah malu kepada Allah SWT, dirinya sendiri, atau orang lain. Ketiga jenis malu ini, terutama malu kepada Allah SWT, merupakan sendi keutamaan dan pokok dasar budi pekerti yang mulia. Sebab, adanya rasa malu kepada Allah SWT, orang tidak akan berani durhaka kepada-Nya dengan melanggar larangan atau mengabaikan perintah-Nya, baik terlihat orang maupun tidak.
Malu seperti inilah, yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis yang artinya, ''Malu serupa itu seluruhnya akan membawa pada kebaikan.'' (HR Buhkari dan Muslim). Dan, ''Malulah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.'' (HR At Tirmizi).
Sifat malu, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, merupakan daya pencegah di dalam diri seseorang untuk tidak mengulang perbuatan salah yang sama. Namun rasa malu itu juga bisa luntur sedikit demi sedikit. Jika seseorang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, maka tidak dapat diharapkan lahi timbulnya kebaikan dari orang tersebut.