Oleh Ali Farkhan Tsani
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam salah satu riwayat, dikisahkan bahwa pada awal masa keislamannya, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?'' Rasulullah pun menjawab, ''Memang benar! Demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.'' Umar berkata kembali, ''Kalau begitu, mengapa kita berdakwah secara sembunyi-sembunyi? Demi Yang Mengutus Anda, demi kebenaran, kita harus keluar!''
Benar saja, Umar pun langsung menyampaikan dakwah Islam kepada keluarganya. Putranya, Abdullah bin Umar menjawab bahwa dirinya telah memeluk Islam sejak satu tahun sebelumnya. Maka, Umar bin Khattab pun menjadi marah dan berkata kepada putranya, ''Mengapa engkau menyembunyikan keislamanmu dan membiarkan ayahmu? Apakah engkau tega sekiranya aku mati dalam kekafiran? Apakah engkau meninggalkan ayahmu, wahai Ibnu Umar?''
Kemarahan Umar sebagai orang yang baru memeluk agama Islam (mualaf) berangkat dari rasa syukurnya atas nikmat dan hidayah yang Allah berikan kepadanya berupa Islam sebagai agamanya. Wujud syukurnya sebagai mualaf adalah dengan menyampaikan dakwah Islam secara terbuka kepada kaum kerabatnya dan kepada manusia lainnya.
Hingga kemudian, turunlah firman Allah, ''Maka, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.'' (QS Alhijr [15]: 94).Sang mualaf, Umar bin Khattab, sebelumnya dikenal sebagai sosok terdepan dalam memusuhi dan memerangi Islam. Tetapi, setelah hatinya mendapat hidayah Allah, dengan nikmat keislamannya itu, ia pun menjadi orang terdepan dalam membela dan memperjuangkan Islam.
Abdullah bin Mas'ud berkata, ''Islamnya Umar adalah suatu pembebasan, hijrahnya adalah suatu kemenangan, dan kepemimpinannya adalah suatu rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, kami tidak bisa shalat di Ka'bah. Sejak Umar masuk Islam, kami mempunyai harga diri, berdakwah dengan terang-terangan, bisa duduk di sekitar Ka'bah dalam lingkaran-lingkaran, dan kami pun bisa melakukan tawaf. Kami berlaku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan kami dengan kasar.''
Begitulah mualaf. Mereka bukanlah sekadar berganti agama (convertion, tetapi lebih pada arti kembali kepada fitrah (reversion). Sebab, seorang mualaf pada dasarnya ia tidak berganti agama. Justru, ia kembali kepada hakikat fitrahnya, agama asalnya, yakni Islam.Sesuai firman Allah, ''Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.'' (QS Arruum [30]: 30).