REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muslim Amerika merupakan sebuah komunitas heterogen. Mayoritas Muslim Amerika berstatus imigran yang berasal lebih dari 68 negara.
Menurut survei tahun 2011, populasi Muslim Amerika berkisar 2,75 juta jiwa. Dinamika politik di Amerika sejak peristiwa 9/11 telah membawa perhatian baru bagi komunitas ini.
Hal itu mengakibatkan perubahan kebijakan yang sangat berpengaruh bagi populasi Muslim Amerika. Terlepas dari sejumlah kebijakan yang kadang merugikan, komunitas Muslim Amerika telah terbukti tangguh.
Mereka mampu mengatasi tantangan dengan kombinasi advokasi politik nasional yang cerdas, aktivisme akar rumput, dan dialog antarkomunitas. (Baca: Dampak Buruk Kampanye Trump)
Dilansir dari euro-islam, berbagai organisasi telah dibentuk untuk mempromosikan kepentingan politik, sosial, dan keagamaan komunitas Muslim Amerika. Lanskap organisasi-organisasi Islam berubah menyusul 9/11, yang ditandai dengan peningkatan dalam hal jumlah organisasi Muslim dan kegiatan advokasi.
Sebuah artikel dari Huffington Post menambahkan, Muslim Amerika tidak hanya mampu mengintegrasikan diri ke tengah masyarakat AS, tetapi juga lebih menentang kekerasan dan lebih toleran dalam banyak hal dibandingkan kebanyakan orang Amerika lain.
(Baca Juga: CAIR Ungkap Penyebab Tingginya Angka Perusakan Masjid)
Sama sekali jauh dari sikap sektarian, Pew Research Center menemukan 93 persen dari Muslim Amerika memiliki teman dekat non-Muslim. Sebanyak 92 persen Muslim AS tidak menentang wanita bekerja di luar rumah.
Pada 2010, menurut sebuah survei yang diadakan lembaga riset Gallup, Muslim Amerika adalah satu-satunya kelompok agama yang menentang tindakan pembunuhan warga sipil oleh militer. Muslim Amerika juga paling keras menolak pembunuhan atau tindakan kekerasan yang menargetkan satu kelompok minoritas tertentu.
"Menutup masjid dan melarang umat Islam tidak akan membuat Amerika lebih aman. Daripada memperlakukan mereka sebagai musuh, Amerika harus melihat Muslim Amerika sebagai sekutu dalam perjuangan kita untuk kebebasan dan perdamaian," tulis David Bier dan Matthew La Corte dari Niskanen Center.