REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamofobia bukan hal baru bagi Muslim Amerika. Hal itu turut dipengaruhi oleh pandangan Muslim terhadap Amerika dan sebaliknya, Amerika terhadap Muslim. Bagi sebagian Muslim, Amerika selalu dipandang sebagai biang segala permasalahan.
Sementara, survei Pew Research tahun 2014 mencatat, pandangan Amerika terhadap Muslim berada di posisi medium. Dari kisaran nol untuk paling negatif sampai 100 untuk angka paling positif, pandangan terhadap Islam memiliki skor 40. Meski, dengan meningkatnya tensi Islamofobia belakangan ini, ada kemungkinan skor itu makin rendah.
Pascaserangan teror di Paris dan San Bernardino, suara anti-Islam telah naik dalam wacana politik Amerika, sebagaimana dibuktikan oleh usulan terakhir calon presiden Donald Trump. Calon presiden dari Partai Republik itu berwacana melarang setiap Muslim memasuki AS.
Dilansir dari BBC, kendati Trump tidak memiliki kekuatan untuk memberlakukan larangan itu, umat Islam di sana mengatakan, retorika tersebut memiliki dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pertengahan Desember lalu, misalnya, satu keluarga Muslim asal Inggris mengalami penolakan di bandara ketika hendak terbang berlibur ke Amerika. Aksi pelecehan terhadap Muslimah berjilbab pun turut meningkat, yang kemudian memunculkan banyak aksi solidaritas dari perempuan Amerika.
"Saya sudah mengalami ini selama puluhan tahun, tapi saya belum pernah melihat ketakutan setingkat ini di dalam komunitas Muslim Amerika," ujar Ibrahim Cooper, Direktur Hubungan Nasional Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR). "Orang-orang benar-benar bertanya-tanya apa yang akan terjadi pada mereka," kata Cooper melanjutkan.
Tak hanya personal, ketika intensitas Islamofobia tengah meningkat, masjid tak luput menjadi sasaran. Setelah insiden Paris, disusul penembakan San Bernardino, ketegangan makin menjadi akibat retorika anti-Muslim Donald Trump.