REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Yunahar Ilyas
Sudah setahun Anwar sekolah di kota, di sebuah madrasah tingkat aliyah. Dia bangga sekali karena tidak semua anak lulusan Tsanawiyah di desanya dapat melanjutkan pendidikan menengah atasnya di ibu kota provinsi.
Sebab, sebagian besar hanya melanjutkan sekolah di ibu kota kabupaten atau malah berhenti sekolah dan mulai bekerja di sawah atau di ladang membantu orang tua yang umumnya petani.
Liburan setelah ujian semester dua kali ini dia manfaatkan untuk pulang ke desa berkumpul dengan teman-teman sebaya. Berbagai macam agenda sudah tersusun di kepalanya.
Salah satunya yang paling menarik adalah makan bersama dengan teman-teman sebaya. Mereka akan masak sendiri dengan kemampuan sekadarnya, yang penting tidak asin.
Pada hari H, 10 anak remaja sudah berkumpul di bawah sebuah pohon, tidak jauh dari pinggir sungai. Pada saat azan Zhuhur berkumandang, mereka tengah sibuk-sibuknya memasak.
Sebenarnya, Anwar ingin segera ke masjid melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah. Seperti yang sudah biasa dilakukannya sejak kecil.
Ayahnya selalu membimbingnya shalat berjamaah ke masjid. Tetapi dia merasa tidak enak, apalagi masakan hampir matang. Sedang bimbang begitu, ayahnya lewat menuju masjid.
Ayahnya pun mengingatkan Anwar untuk segera ke masjid. Dia mengangguk, tetapi tidak melaksanakannya. Begitu ayahnya kembali dari masjid dan melihat Anwar masih bersama teman-temannya di bawah pohon, beliau marah dan segera memanggil putranya. “War, apabila acaramu selesai, segera ke rumah!”
Dengan tenang ayahnya memutuskan, “Anwar, kamu tidak boleh kembali ke kota. Tidak ada gunanya kamu sekolah tinggi di kota kalau hasilnya kamu mengabaikan panggilan azan.”
Namun, penyesalan Anwar tidak ada gunanya. Untunglah, pamannya membantu membujuk ayahnya dan menjamin pelanggaran itu tidak akan terulang. Akhirnya, ayahnya membolehkannya kembali sekolah ke kota atas jaminan pamannya itu. ¦