Sabtu 26 Dec 2015 18:00 WIB

Perempuan Lebih Afdal Shalat di Rumah atau Masjid? (2-Habis)

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Muslimah Papua tengah melaksanakan shalat berjamaah di Islamic Center Al Aqsa, Walesi, Jayawijaya, Papua, Jumat (25/9).
Foto: ROL/Agung Sasongko
Muslimah Papua tengah melaksanakan shalat berjamaah di Islamic Center Al Aqsa, Walesi, Jayawijaya, Papua, Jumat (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pada zaman Rasulullah SAW, kaum perempuan kerap hadir shalat berjamaah. Tentunya ketika kondisi aman lagi kondusif.

Riwayat dari Aisyah RA, "Mereka wanita-wanita mukminah menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah SAW. Mereka berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka seselesainya dari shalat tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena masih gelap." (HR Bukhari Muslim)

Hadis sahih ini juga didukung banyak hadis sahih lainnya. Ummu Salamah RA juga menambahkan, "Di masa Rasulullah SAW, para wanita ikut hadir dalam shalat berjamaah. Selesai salam segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka." (HR Bukhari).

Tak hanya kaum perempuan, bahkan di antara sahabiyah di masa Nabi SAW ada yang membawa bayi untuk ikut shalat berjamaah. Hadis dari Abu Qatadah Al-Anshari RA mengatakan, Rasulullah SAW pernah berniat ingin memanjangkan shalatnya. Namun, tak lama Beliau SAW mendengar tangisan bayi.

"Maka aku pun memendekkan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya," sabda Nabi SAW (HR Bukhari). (Baca Juga: Perempuan Lebih Afdal Shalat di Rumah atau Masjid? )

Jadi, perbuatan melarang kaum wanita untuk ikut shalat berjamaah ke masjid adalah tindakan keliru. Hal ini juga bertentangan dengan hadis Nabi SAW, "Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya." (HR Bukhari Muslim).

Kendati demikian, hukum shalat berjamaah di masjid bagi kaum perempuan tidaklah wajib sebagaimana pendapat masyhur yang diperuntukkan bagi laki-laki.

Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (3/125) mengatakan, tak ada perselisihan di kalangan ulama dalam hal tidak wajibnya kaum perempuan untuk hadir shalat berjamaah di masjid. Menurut Imam Nawawi, hukumnya bukan fardhu ain, bukan pula fardhu kifayah, melainkan hanya mustahab (sunah). Demikian menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab (4/188).

Kaidah asal kaum perempuan dihukum sunah untuk ikut shalat berjamaah ke masjid. Apalagi, selepas shalat juga ada wirid pengajian. Tentu hal inilah yang lebih utama mengingat ada aspek ibadah dan tarbiyahnya.

Namun, jika shalatnya kaum perempuan di masjid mengundang fitnah, rawan keamanan, serta uzur lainnya, kembali kepada hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ahmad tadi. Shalat kaum perempuan lebih utama di makhda'-nya dalam kondisi tersebut.

Fitnah yang dimaksudkan, jika mengundang ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dan perempuan walau mereka berada di masjid atau tidak tersedianya tempat yang tertutup di ruangan masjid.

Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Hanbali memakruhkan wanita berparas cantik untuk shalat berjamaah ke masjid. Yang demikian jika kecantikannya mengundang fitnah bagi jamaah laki-laki. Bahkan, Imam Malik secara tegas melarang wanita cantik dan kaum perempuan yang ber-tabarruj (berhias secara berlebihan) untuk shalat di masjid jika diyakini akan menimbulkan fitnah bagi jamaah laki-laki.

Imam Malik berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Setiap wanita Muslimah dari golongan mana saja yang terkena atau memakai wangi-wangian maka hendaklah tidak mengerjakan shalat Isya bersama kami." (HR Muslim). Tentu saja larangan ini bukan hanya untuk shalat Isya, melainkan juga seluruh shalat fardhu yang dilaksanakan.

Intinya, selama aman dari fitnah dan pengaruh-pengaruh negatif, wanita disunahkan shalat berjamaah ke masjid. Adapun jika mereka ingin shalat di rumah, mereka tetap mendapatkan ganjaran pahala shalat berjamaah. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement