REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak sedikit kasus, mualaf memutuskan bersyahadat karena pernikahan. Melalui pernikahan inilah, Detha Sari memperoleh hidayah.
Pria idamannya adalah seorang Muslim taruna AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Mereka menjalin hubungan kurang lebih empat tahun. Setelah Detha lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG), lelaki itu mengungkapkan keseriusan. Dia ingin menikahi Detha.
Namun, karena tentara, calon suami terikat sumpah prajurit, tidak bisa menikah dengan orang berbeda agama. Tak ada pilihan lain, Detha memeluk Islam. Bukan karena dipaksa, melainkan demi membentuk keluarga yang sakinah. "Mau tidak mau salah satu harus mengalah. Tak ada dua nakhoda dalam satu kapal," tuturnya.
Perempuan itu juga memikirkan masa depan anak-anaknya kelak. Detha sadar, agama adalah hal paling mendasar dalam sebuah bahtera rumah tangga. Anak-anak akan bingung bila orang tua mereka tidak seagama. Memeluk Islam lewat pernikahan bukan berarti tanpa pergulatan spiritual.
Ibunda Detha sempat menentang keputusannya menikah dengan Muslim. Tapi, dia sudah menetapkan pilihan.
Tepat 2 Oktober 1982, perempuan itu menikah. Eyang dari pihak ayahnya yang bertindak sebagai wali. Kebetulan, ia seorang Muslim. Sejak itulah, Detha resmi memeluk Islam.
Sosok kelahiran Tulung Agung, 31 Oktober 1962, ini mengaku tidak mudah membalikkan hati dari Katolik ke Islam.
"Pada awal pernikahan, masih berat. Shalat atau belajar Islam masih berat. Apalagi, saya aktif di gereja, berat sekali,"
ungkap Detha.