Senin 02 Nov 2015 04:24 WIB

Lidya: Islam Teroris, Baca Dulu Surat Al-Maidah Ayat 32

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar akhir 2014, pembicaraan larangan burqa menghiasi media massa nasional di Australia. Apakah burka harus dilarang di parlemen. Ketegangan menguat akibat munculnya ISIS dan bayang-bayang serangan teror.

Mengenang perjalanan hidupnya sembilan tahun silam, ketakutan yang sama juga pernah dialami Lidya sebelum ia memeluk Islam. "Butuh waktu yang lama. Ini tidak terjadi dalam semalam. Saya bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkannya," ungkap perempuan Australia itu mengawali kisahnya mengenal Islam, seperti dilansir dari news.com.au, Ahad (1/11).

Lidya memeluk Islam ketika usia 21 tahun. Semua bermula ketika dia masih berada di bangku universitas. Waktu itu, peristiwa 11 September baru saja pecah. Negara-negara Barat mengidap Islamofobia yang sangat akut. Amerika menyatakan perang terhadap terorisme. Hukum kontraterorisme diperkenalkan. Rata-rata orang non-Muslim mengidentikkan Muslim dengan teroris. Mereka alergi dengan hal-hal berbau Islam dan Muslim.

Pemikiran serupa juga muncul di benak Lidya. Dia heran, mengapa Muslim tampak begitu berhasrat menghancurkan Barat, mengancam nyawa orang-orang Barat? Lidya pikir pula, alangkah kasihan Muslimah. Mereka ditindas oleh selembar kain bernama jilbab. Bagi Lidya waktu itu, jilbab sama sekali tidak sesuai dengan semangat feminisme.

Lidya mengaku, prasangka dan opini negatif itu terbentuk oleh jalinan asumsi yang telah bercokol di benaknya. "Tentu saja, saya belum pernah bertemu seorang Muslim. Tapi, itu tidak menghentikan saya untuk memiliki pendapat tentang jenis orang macam apa mereka dan bagaimana mereka menjalani kehidupan," kata Lidya.

Pandangannya baru berubah ketika dia menyambangi Masjid Auburn Gallipoli. Mendadak, semua kesalahpahamannya hanyut. Ia menemukan banyak kesamaan mencolok antara Islam dan ajaran Kristen yang selama ini dia anut. Kedua agama itu sama-sama meyakini kenabian Adam, Ibrahim, Musa, Nuh, dan Yesus.

Secara rutin, ia mulai tertarik pergi ke masjid setiap Sabtu. Lidya ingin tahu, mengapa Islam membenarkan pembunuhan orang tidak bersalah dan mengapa wanita diperlakukan seperti budak. Pintu hidayah perlahan terbuka di depannya.

Teman-teman dan keluarga awalnya berpikir pertobatannya hanyalah sebuah `fase'. Sebaliknya, Lidya merasa menemukan sebuah agama yang jauh berbeda dari gambaran media. Islam bukan teroris seperti yang diberitakan media-media massa. Ayat favoritnya adalah surah al-Maidah ayat 32 bahwa membunuh satu orang, ibarat membunuh manusia seluruhnya.

Tentu saja, Lidya tidak serta-merta masuk Islam setelah itu. Dia butuh waktu lama. Islam terasa begitu asing bagi Lidya. Masuk Islam juga tidak akan dianggap satu prestasi yang membuat koleganya mengucapkan, "Wah, selamat!" Alih- alih ada berbagai kekhawatiran yang menyusup, terutama soal reaksi keluarga dan kolega. "Saya tahu jika saya menerima kenyataan itu, seluruh hidupku akan berubah dan jujur, itu membuatku takut,"katanya gamang.

Kendati demikian, pada usianya yang ke-21, ia memutuskan bersyahadat. Setelah mem buat keputusan itu, Lidya sadar dia harus lebih bisa mengendalikan diri. Ketika dia melakukan kesalahan, orang pasti akan mengaitkan kesalahannya dengan iden titas Muslim. Sementara, saat orang- orang Nasrani melakukan kesalahan serupa, orang akan memaafkan dengan alasan mereka sedang tak enak hati.

Perempuan Australia itu memutuskan berhijab tak lama setelah masuk Islam. Orang-orang sering bertanya alasan dia memilih berjilbab. "Saya memakainya karena Muslimah dianjurkan memakai jilbab dalam Alquran," kata Lidya sederhana.

Menurut dia, memakai jilbab bukan hanya untuk cara menjadi lebih baik secara fisik, tapi juga berarti menjadi lebih Yuri Kochetkov/EPA baik dalam ucapan dan perilaku. Jilbab juga menjadi salah satu cara menjaga diri dari gangguan laki-laki dan menolak eksploitasi seksual terhadap perempuan.

Dia mengatakan, kebanyakan orang Barat percaya, Muslimah mengenakan jilbab demi kaum laki-laki. Mereka mengira Muslimah tertindas. Nyatanya, tidak. Menurut Lidya, mayoritas Muslimah di Australia tidak dipaksa untuk mengenakan jilbab. Mereka membuat keputusan itu secara sadar.

Beberapa di antaranya menemui perlakuan buruk dari keluarga dan rekan dekat, tapi mereka tidak goyah. Itu mustahil kalau mereka hanya mengenakan jilbab karena terpaksa. Dalam salah satu prog ram di stasiun televisi Australia, dia mengungkapkan, pria Muslim juga memiliki batasan yang harus ditutup (aurat).

Jilbab adalah seni. Sementara, wanita lain sibuk dengan rambut, dia sibuk dengan jilbab. Lidya memperkirakan, dia memiliki sekurangnya 100 jilbab dari berbagai warna, kain, ukuran, dan motif. "Apa yang saya pakai tergantung pakaian saya, aksesori saya, musim, ke mana saya akan pergi berikut kode berpakaiannya, atau hal-hal seperti itu.

Tergantung suasana hati saya," katanya.

Islamofobia Kesalahpahaman di kalangan masyara kat Barat itulah yang kadang-kadang me micu kekerasan verbal atau fisik terha dap Muslimah. "Saya pribadi pernah dilecehkan di depan anak saya yang berumur empat tahun. Bagaimana saya bisa menjelaskan pada anak saya mengapa ibunya dihina dan disumpahi? Saya disebut `pelacur Muslim gemuk' oleh seorang wanita Australia karena ya saya memang sedikit gemuk, tapi alasan dia hanya karena saya memakai lipstik," tutur Lidya.

Tiba-tiba, sebagai Muslimah yang memakai jilbab, dia direduksi menjadi sebuah simbol yang terbuka untuk dibedah, didiskusikan, dianalisis, dan dikritik. Ia juga pernah menerima surat kaleng yang menyebut dia `keluar dari pintu belakang dan menembak', 'dia harus dipenggal', atau hal-hal semacam itu.

Menurut Lidya, itu terlihat sangat ironis dan mengecewakan. Orang- orang non-Muslim Australia berbicara menentang ISIS dan kekerasan, tapi mengancam dan menyerang Muslim. "Muslimah Australia adalah orang- orang yang berpendidikan tinggi, peserta aktif dalam demokrasi. Kami bukan pengamat. Kami memiliki suara.

Atas alasan apa kalian memilih untuk tidak mendengarkan?" ungkap Lidya. Ia menaruh harapan besar pada pemerintah agar mereka mengambil tanggung ja- wab sosial dan tidak memperburuk kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Ia meminta media dan orang-orang untuk berbicara dengan istilah yang tepat. Sama seperti membedakan celana pendek dan celana renang, istilah jilbab, burqa, dan niqab juga perlu dibedakan. Ada begitu banyak kesalahpahaman. Lidya menyarankan, apabila non-Muslim ingin tahu tentang Islam, mereka harus datang langsung ke sumbernya. "Ini bukan topik yang kontroversial. Kami tidak mena- kutkan orang," ujar Lidya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement