Jumat 30 Oct 2015 20:03 WIB

Masa Kelam Masjidil Al-Aqsa

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko
masjid al aqsa
Foto: wordpress
masjid al aqsa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid al-Aqsa tidak lepas dari sejarah perebutan kekuasaan di Yerusalem. Penguasa demi penguasa silih berganti memperebutkan otoritas di kota suci ini. Pada 1095, Kaisar Bizantium meminta bantuan Paus Urbanus II di Roma untuk melawan tentara Seljuk di Semenanjung Anatolia. Di hadapan para pembesar dan umat Kristiani di Clermont, Paus Urbanus menjawab dengan seruan Perang Salib. Tidak saja untuk melawan Seljuk, melainkan untuk menaklukkan Yerusalem dari kaum Muslim.

Kendati berada di jantung dunia Muslim, Yerusalem rentan jatuh ke tangan tentara Salib. Stabilitas politik di dunia Muslim masa itu sudah kurang menguntungkan. Konflik terus-menerus antara Seljuk dan Fatimiyah membuat posisi pertahanan Yerusalem rentan. Tentara Salib menaklukkan Yerusalem pada 1099 saat kota itu baru saja direbut Fatimiyah dari Bani Seljuk. Pada 15 Juli 1099, tentara Salib berhasil menguasai kota itu.

Penaklukan tentara Salib mencatatkan tragedi paling mengerikan yang pernah disaksikan Masjid al-Aqsa. Sebagian besar penduduk Muslim melarikan diri ke masjid untuk mencari keselamatan. Tak peduli situs suci atau tidak, tentara Salib masuk dan membantai semua penduduk Muslim di sana. Pembantaian itu menewaskan ribuan Muslim, seperti disebut Karen Arsmtrong, "darah menggenang sampai lutut". "Di mana-mana tercecer potongan-potongan tubuh manusia, badan tanpa kepala dan bagian-bagian tubuh yang dimutilasi, terserak-serak di segala penjuru," tambah Montefiore.

Penguasa Yerusalem, Godfrey, menjadikan Masjidil Haram sebagai tempat tinggal. Interior masjid direnovasi menjadi sebuah istana dengan dinding baru, kebun, dan kamar-kamar. Semua simbol keislaman ditutup. Dome of the Rock yang terletak beberapa ratus meter mengalami nasib serupa. Bangunan dari Dinasti Umayyah itu diubah menjadi gereja. Muslim dilarang memasuki kota. Al-Aqsa sunyi dari lantunan ayat dan kumandang azan.

Upaya umat merebut kembali Yerusalem dari cengkeraman Pasukan Salib dilakukan berulang kali. Tapi, selalu gagal. Majid Irsan Al Kilani mengulas fenomena kegagalan ini dalam Hakadza Zhahara li Shalahiddin wa Hakadza Mat al-Quds. Kesimpulannya, umat Islam memang pantas kalah. Masjid al-Aqsa baru kembali ke tangan Muslim di bawah komando Shalahuddin al-Ayyubi pada 1187.

Menaklukkan Yerusalem, Shalahuddin masuk ke gerbang kota dengan damai. Tak ada pembantaian warga sipil. Sultan Ayyubiyah ini menjamin keselamatan dan kebebasan beribadah semua pemeluk agama. Terkecuali, pasukan Salib yang dia minta keluar dari kota. Hal pertama yang dilakukan Shalahuddin saat memasuki Yerusalem adalah mencopot tiang salib dari atas Kubah Batu.

Carole Hillenbrand dalam The Crusade: Islamic Perspective mengisahkan, sebuah salib besar dipancangkan di atas kubah batu pada masa penaklukkan Yerusalem oleh kaum Frank. Mereka menghiasi al-Aqsa dengan patung, altar, dan gambar Bunda Maria. "Ketika kaum Muslim memasuki kota itu, pada hari Jumat, sekelompok orang naik ke puncak kubah untuk menurunkan salib itu. Ketika mereka telah tiba di puncak kubah, semua orang berteriak bersama-sama," kenang Hillenbrand.

Tentara Salib berulang kali mencoba merebut kembali Yerusalem dari tangan Shalahuddin, tetapi selalu teratasi. Hingga kematian Shalahuddin pada 1193, Dinasti Ayyubiyah masih menguasai Yerusalem. Pada masa Kesultanan Mamluk, semangat Perang Salib mulai mereda. Mamluk melakukan beberapa renovasi di kompleks al-Haram asy-Syarif.

Sekolah-sekolah fikih dibangun. Muslim dari Afrika Utara, Persia, bahkan India berbondong-bondong ke Yerusalem. Seorang ulama masyur, Ibnu Taimiyah, menulis sebuah risalah singkat tentang keutamaan mengunjungi Masjid al-Aqsa lengkap beserta adab dan doa-doanya.

Masa Ottoman al-Aqsa terus menjadi magnet dari masa ke masa. Memasuki awal abad ke-16, kekuatan baru muncul di belahan timur dunia Islam. Ialah Kekaisaran Ottoman yang beribu kota di Istanbul. Pada 1513, Sultan Selim I dari Kekaisaran Ottoman mulai merebut beberapa wilayah kekuasaan Mamluk. Tiga tahun kemudian, Yerusalem dikuasai oleh Ottoman lewat penyerahan secara damai.

Pada masa ini, Yerusalem mengalami kebangkitan baru. Ottoman mengirim gubernur, tentara, dan administrator untuk mengelola kota. Masjid Al-Aqsha mengalami rekonstruksi dan perbaikan. Selama pemerintahan putra Selim I, Sulaiman al-Qanuni, Kubah Batu benar-benar direnovasi menjadi sangat megah. Sisa-sisa peninggalan itu masih dapat dilihat hingga hari ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement