Senin 26 Oct 2015 18:34 WIB

Daya Saing Umat Islam Indonesia Masih Rendah

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Andi Nur Aminah
Siswa madrasah saat melakukan proses pembelajaran di luar sekolah. Madrasah merupakan satu sistem pendidikan Islam.
Foto: Republika/Yasin Habibi/c
Siswa madrasah saat melakukan proses pembelajaran di luar sekolah. Madrasah merupakan satu sistem pendidikan Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam Indonesia belum memiliki daya saing tinggi. Meski menjadi mayoritas, umat Islam belum menjadi faktor penentu baik dalam konteks kebijakan, pembangunan keadaban, maupun kesejahteraan di Indonesia. "Itu terjadi karena daya saing umat yang masih rendah. Baik terkait dengan capaian pendidikan yang masih rendah, ekonomi, maupun beberapa hal menyangkut persatuan antara organisasi Islam sendiri," ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id, Senin (26/10).

Ia menjelaskan, saat ini ada dua realitas paradoks. Di satu sisi, umat Islam menjadi mayoritas di Indonesia. Hal itu, secara politik, sering menjadi modal yang besar utamanya dalam peristiwa politik yang membutuhkan suara.

Akan tetapi, dalam realitas lain umat Islam belum menjadi kelompok penentu. Dia menyebut, Islam merupakan faktor penting tapi belum jadi faktor penentu.

Dalam konteks kerja sama antara organisasi Islam pun kerap muncul suasana dominasi oleh kelompok tertentu. Bahkan, Mu'ti menilai ada kanibalisme dalam partai-partai Islam. "Partai Islam tidak pernah mencapai perolehan signifikan dalam pemilu. Jika ada partai Islam yang naik maka partai Islam lainnya turun. Bukan secara paralel naik," terangnya.

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah itu menilai, daya saing umat rendah terutama dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Hal itu karena energi umat kerap habis untuk hal yang kurang produktif. Dana umat, ujarnya, pun kerap dibelanjakan untuk hal yang tidak terlalu penting. Selain itu, ada persoalan etos di kalangan umat.

Mu'ti mengatakan, etos telah direduksi menjadi etika. Saat ini, ia mengatakan, umat lebih sensitif pada hal-hal yang bersinggungan dengan etika dan norma-norma formal. Sayangnya, di satu sisi, begitu abai dengan nilai-nilai yang lebih penting.

Dia menyontohkan, kepedulian masyarakat terhadap bencana asap begitu rendah jika dibandingkan dengan kepedulian terhadap munculnya lafadz Allah di sandal. "Bukan tidak penting. Tapi energi umat mengurusi lafadz Allah di sandal justru lebih besar dibandingkan mengurusi saudara-saudara yang sesak napas karena asap. Kalau energi umat dihabiskan untuk hal seperti ini maka sulit maju," terangnya.

Selain itu, kata Mu'ti, dana yang dihabiskan untuk hal-hal spiritual masih lebih banyak ketimbang untuk pengembangan intelektual. Ia menilai, rendahnya jumlah riset turut mempengaruhi daya saing umat.

Ia menambahkan, terdapat faktor budaya yang juga ikut berpengaruh. Ritual keislaman di Indonesia masih didominasi dengan tradisi bicara dan dengar ketimbang tradisi membaca dan menulis. Hal ini menyebabkan umat Islam menjadi miskin wacana.

"Kalau ada kelompok lain yang berbeda pendapat maka berujung pada penghakiman secara teologis dan ancaman secara fisik," ujar Mu'ti.  

Tokoh kelahiran Kudus itu lantas mendorong umat Islam untuk mengubah pola pemikiran. Pemikiran Islam sebagai agama yang sempurna di sisi ajaran tidak boleh terus menerus diagungkan. Menurutnya, umat saat ini masih sibuk menjustifikasi bahwa Islam itu hebat tapi tidak mencoba berusaha membuktikan bahwa dengan Islam umat bisa menjadi hebat. "Umat Islam semestinya menunjukkan bahwa dengan Islam bisa menjadi hebat." ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement