Senin 26 Oct 2015 14:18 WIB

Hukuman Mati untuk Koruptor, Bagaimana Pandangan Ulama Indonesia?

Hukuman mati
Gantung

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di forum Bahtsul Masail menjelaskan korupsi termasuk perbuatan pengkhianatan berat (ghululu) terhadap amanah rakyat. Dari perilaku dan dampaknya, korupsi juga dapat dikategorikan dengan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb).

Para ulama NU mengambil dasar hukum korupsi dalam kitab Syarh Matan Sullam al-Tawfiq yang dijelaskan pencurian termasuk dalam satu dosa besar. Perbuatan korupsi sama dengan mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi.

Ibnu Hajar dalam al-Zawajir menulis masuknya pencurian atau korupsi dalam dosa besar adalah sesuatu yang gambang. Hal ini terlihat dalam hadis "Allah melaknat seorang pencuri sebiji telur sehingga tangannya dipotong dan seutas tali sehingga tangannya dipotong." al-A'masy menjelaskan saat itu harga telur dan tali sampai tiga dirham. Status pencurian sebagai dosa besar tidak membedakan antara pencurian yang mengakibatkan hukuman potong tangan dan tidak.

Ulama NU menegaskan masuknya korupsi sebagai dosa besar juga didasarkan pada ayat ke 161 surah Ali Imran. "Barang siapa mengambil harta dengan khianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu.."

Bahtsul Masail juga tidak melarang penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Dasar pengambilan hukumnya dari uraian Syekh Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyebutkan bolehnya menjatuhkan hukuman mati sebagai kebijakan atas mereka yang melakukan tindakan kriminal berulang-ulang, para pecandu minuman keras dan penganjur tindak kejahatan yang mengancam keamanan negara.

Jika pelaku korupsi mengembalikan uang negara, maka ulama NU mengatakan perbuatan tersebut tidak menghilangkan hukuman. Karena tuntutan hukuman merupakan hak Allah dan mengembalikan uang korupsi ke negara merupakan hak rakyat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement