REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilik nama lengkap Rr Enny Kenyowati ini sudah dibaptis sejak kecil. Ia lahir dan besar di tengah keluarga Katolik Ortodoks. Warna Katolik sangat dominan di keluarga ayahnya.
Enny, begitu ia akrab disapa, menghabiskan masa kecil di Tulung Agung, Jawa Timur. Ia rajin mengikuti Sekolah Minggu. Beranjak remaja, ia juga aktif menjadi aktivis di gereja, ikut bakti sosial, dan retret ke tempat-tempat ziarah. Ayahnya bersikeras Enny harus masuk ke sekolah Katolik sewaktu menginjak bangku SMA.
Lulus SMA pada 1983, perempuan kelahiran Juli 1964 itu, melanjutkan kuliah D3 bahasa Inggris di sebuah universitas swasta di Malang. Ia masih rajin pergi ke gereja, meski tidak lagi menjadi aktivis. Ia tak pernah menduga, perpindahannya ke Kota Apel ini akan menjadi awal perubahan yang ekstrem dalam hidupnya.
Selama kuliah di Malang, Enny mengon trak sebuah rumah. Rumah itu berpenghuni sekitar 25 orang. Mayoritas berasal dari Trenggalek, Tulung Agung, Blitar, dan sekitarnya. Kebanyakan penghuni rumah itu Muslim. Yang memeluk Nasrani hanya Enny dan dua atau tiga teman lain.
Enny mengakui, kebanyakan teman dekatnya waktu itu memang Muslim, ham pir tidak ada yang Nasrani. "Saya ke betulan satu kamar dengan teman dari Kediri. Ini rupanya yang banyak berpengaruh, mungkin hidayah juga," ujar Enny. Teman sekamarnya itu bernama Sulistiyowati atau akrab disapa Tiyo.
Lazimnya perempuan, mereka sering curhat sampai malam. Mereka bercerita tanpa ada pretensi. Azan Bukan sebuah kebetulan, di belakang rumah kontrakan itu berdiri Masjid Jami' Malang. "Saya tidak tahu kapan mulainya dan apa penyebabnya, saya tidak tahu. Pokoknya, setiap saya mendengar azan Maghrib, hati saya bergetar. Merinding, kalau kata orang Jawa," kata Enny.
Dia hanya diam. Satu per satu dia perhatikan temannya mulai beranjak mengambil air wudhu, kemudian shalat berjamaah. Mereka menghadap Allah dalam kondisi sama, mengenakan mukena yang suci, kemudian tempatnya juga harus suci. Semua itu tak lepas dari pengamatannya.
Enny pun mulai merenung. Ia lantas timbul ketertarikan untuk membaca buku-buku Islam. "Aku dikasih buku- buku tentang Islam dong, Yo," pinta Enny pada Tiyo. Ia kemudian mulai membaca tentang tauhid, Muhammad, dan soal- soal keislaman. Sejak itu, debat mereka berubah serius. Hampir setiap ada kesempatan, mereka gunakan untuk berdebat. Dari situ, Enny terus belajar.
Perasaan aneh itu juga masih terus bergetar setiap kali dia mendengar azan, tapi Enny tidak berani memberi tahu siapa pun. Tidak juga pada Tiyo atau teman- teman lain. "Saya sering, kalau malam itu saya amati gerakan dia (Tiyo) shalat. Dia nggak tahu, cuma saya amati," ungkap Enny. Getar-getar itu semakin kuat muncul di lubuk hatinya.