Kamis 22 Oct 2015 19:52 WIB

Tantangan Kemenag dalam Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan

Rep: c35/ Red: Agung Sasongko
Gedung Kementerian Agama
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Gedung Kementerian Agama

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah tantangan akan dihadapi Kementerian Agama dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan seperti yang diamanatkan konstitusi. Hal itu diungkap, Education Sector and Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP).

Menurut ACDP, tantangan tersebut diantaranya adalah sistem EMIS (Education Management and Information System) milik Kementerian Agama saat ini masih terpusat, sehingga Kantor Departemen maupun Kantor Wilayah Kementerian Agama tidak dapat mengakses dengan mudah data pendidikan Islam di wilayah hukum mereka. Selanjutnya, Sistem EMIS sudah memasukkan data pendidikan keagamaan, tetapi belum mencakup seluruh komponen yang diperlukan dalam membangun pendidikan  keagamaan.

Selain itu, kelemahan dalam akses data dan kurangnya mekanisme untuk kerjasama yang erat dalam perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama mengakibatkan kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan dana lebih atau bentuk dukungan lain bagi pendidikan Islam.

Kemudian terdapat sejumlah peraturan perundangan yang berkaitan dengan pemerintahan di daerah yang membatasi provinsi dan kabupaten/kota mendanai pendidikan Islam yang secara kelembagaan masih disentralisasikan.

"Untuk mengembangkan program, standar dan kelengkapan sarana pendukung pendidikan keagamaan Islam, diperlukan dukungan anggaran yang cukup besar, sementara itu anggaran yang tersedia masih sangat terbatas," ujar Totok Amin Soefijanto, Perwakilan ACDP Indonesia di Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (21/10).

Karena itu, ACDP memberikan beberapa rekomendasi untuk mengatasi beberapa isu yang dihadapi dalam mengelola pendidikan Islam di tingkat daerah yang disebabkan oleh peraturan perundangan mengenai desentralisasi. ACDP menilai Kemenag dapat merancang dan mengeluarkan sebuah Peraturan Bersama Menteri dengan Kemendagri yang berwenang di tingkat pusat untuk mengawasi pemerintah daerah.

Peraturan Bersama Menteri ini seyogyanya mensyaratkan (tidak saja mengizinkan) dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) agar mau melibatkan Kandep atau Kanwil Kemenag dalam perencanaan dan penganggaran program yang mendanai madrasah dan pesantren dalam memberikan layanan dasar di bidang pendidikan sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perundangan.

Untuk isu terkait pendanaan dalam rangka meningkatkan akses dan kualitas pendidikan Islam, ACDP menyarankan agar para pembuat kebijakan di Kemenag dapat mempertimbangkan penggunaan anggaran yang lebih efektif dan efisien, melalui berbagai opsi strategi dalam meningkatkan akses pendidikan. Misalnya, penggunaan sekolah terbuka, sekolah kecil dan sekolah satu atap sebagai alternatif untuk membangun madrasah negeri maupun swasta.

Selain itu, ACDP berharap Kemenag menerapkan sistem imbal swadaya dengan mewajibkan dana pendamping dan pendekatan dana stimulus lainnya sebagai sarana bagi Ditjen Pendis untuk memiliki kendali yang lebih partisipatif atas anggaran yang diberikan pemerintah, seperti untuk gaji dan tunjangan guru.

Menggalang lebih banyak pendanaan dari pemerintah provinsi untuk madrasah yang dapat berasal dari anggaran provinsi atau kabupaten/kota. Porsi anggaran Pemerintah untuk mendukung pengembangan pendidikan keagamaan Islam ini perlu diperbesar, yang karena semuanya diselenggarakan oleh lembaga swasta, disalurkan dalam bentuk bantuan imbal swadaya yang diikuti dengan dana pendamping.

ACDP juga meminta Kemenag agar melakukan negosiasi dengan Kemendikbud untuk memastikan bahwa peraturan dan petunjuk teknis pengelolaan dana untuk infrastruktur yang ditransfer langsung melalui DAK dari Kemendikbud ke anggaran daerah, mencatumkan kewajiban daerah untuk memasukkan pendidikan Islam (termasuk madrasah) sebagai salah satu penerima anggaran.

Studi ACDP tentang Madrasah Education Financing yang diselenggarakan pada tahun 2012 dengan sampel sebanyak 120 madrasah di 5 provinsi (Sumatera Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat) memaparkan sebuah perbandingan terkait kontribusi masyarakat dan kontribusi pemerintah untuk pengembangan madrasah negeri dan swasta. Proporsi kontribusi masyarakat terhadap madrasah swasta pun terbukti meningkat berbanding lurus dengan jenjang sekolah. Hal demikian sangat masuk akal mengingat biaya pendidikan juga meningkat seiring semakin tingginya jenjang pendidikan.

Mengingat bahwa madrasah swasta memiliki kontribusi substansial terhadap pencapaian program Wajib Belajar 12 Tahun, terdapatnya kebijakan “pendidikan dasar gratis” untuk sekolah negeri, dan fakta bahwa mayoritas siswa madrasah berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, maka kebutuhan dan komitmen terhadap pengembangan akses dan kualitas madrasah swasta sangatlah besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement