REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- LP POM MUI dinilai perlu lebih aktif memperkenalkan diri. Hal ini karena sempat terjadi penolakan produk berlabel halal Indonesia di beberapa negara Islam.
LP POM MUI diharapkan menjadi acuan standardisasi halal puluhan negara. Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Salman Al Farisi mengatakan, produk permen jelly milik pengusaha Indonesia yang diekspor ke Abu Dhabi pernah ditolak beberapa tahun lalu. Padahal, produk tersebut sudah ada label halal MUI. Menurutnya, penolakan bukan karena produk Indonesia tak dipercaya, tapi label halal Indonesia kurang cukup dikenal.
Ekspor produk halal Indonesia 41 persennya ke Malaysia dan 19 persen ke UEA. Salman menilai, value added Indonesia jadi ditangkap Malaysia karena mereka lebih dikenal.
Menurutnya, ekspor produk halal Indonesia ke Timur Tengah tidak boleh berhenti justru harus lebih ditingkatkan. Ini perlu diimbangi respons cepat dari otoritas.
''Indonesia membayar iuran di organisasi internasional, seperti Standar Metrology Institute Islamic Countries (SMIIC), harus aktif terlibat. Kalau manfaatnya banyak, mengapa tidak,'' kata mantan Duta Besar Indonesia untuk UEA itu.
Dia mengatakan, jika melihat sebaran Muslim dan jumlahnya bisa mencapai 2,1 miliar jiwa pada 2030 dari saat ini 1,8 miliar jiwa, Salman menyatakan itu adalah pasar potensial. Imigrasi Muslim di Eropa tinggi pertumbuhannya sehingga ke depan pasar Muslim jadi tersebar, tidak hanya Timur Tengah. "Indonesia jangan hanya fokus pada produk, tapi juga pasar. Soal produk, kemasan Indonesia tidak kalah saing. Indonesia juga jadi presiden WHFC, tapi kurang beri pengaruh. Kita harus jadi standard setter,'' tutur Salman.
Pengurus LPPOM MUI Sumunar Jati mengatakan, penolakan produk di UEA, bukan pada substansi, tapi pada hambatan non tarif. Produk berlabel halal MUI ditolak bukan karena standar halal Indonesia tidak percaya, tapi LPPOM MUI belum teregistrasi.
Registrasi di UEA, Jati mengatakan, dikenakam biaya 5.000 dirham untuk dua tahun. Tahun ini biaya meningkat jadi 25 ribu dirham. Ada denda 3.000 dirham pula per hari kalau terlambat. ''Siapa yang akan tanggung? LPPOM MUI tidak punya dana sebesar itu,'' kata Jati.
Otoritas UEA sudah menyampaikan, produk dari kawasan industri lebih mudah diterima. Karena itu regulasi terkait kawasan industri halal di Indonesia sangat diharapkan bisa segera diterbitkan.