REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ibraheem Greeves adalah seorang lelaki tua asal Inggris yang turut menyaksikan pembentukan negara Israel. Dalam sebuah wawancara yang pertama kali dipublikasikan tahun 2012, ia mengungkapkan perasaannya tentang Islam dan bagaimana dia memeluk Islam setelah menjajal beberapa agama lain.
“Sejak kecil, saya selalu mencari. Saya benar-benar tidak tahu apa yang saya cari, tapi pencarian membawa saya ke banyak tempat,” kenangnya, dilansir dari Onislam, Selasa (13/10).
Berangkat dari Kristen, Ibrahim pindah ke Katolik, Buddha, dan segala macam agama lainnya. Namun, untuk beberapa alasan, dia merasa semua agama tidak benar. Sampai beberapa tahun kemudian, Ibrahim bertemu Muslim.
Sebenarnya, dia bahkan tidak tahu mereka adalah Muslim. Ceritanya, hari itu dia pergi ke sebuah tempat makan di Basra, Irak. Ibrahim bertanya-tanya di tempat itu. Dia duduk, kemudian seseorang memberinya sendok. Ada banyak orang duduk di depan meja, tapi tidak ada yang makan. “Itu aneh, dan saya ikut tidak makan meski saya lapar,” kata dia.
Tak berapa lama, suara adzan berkumandang. Waktu itu, dia tidak tahu kalau itu adzan. Setelah adzan selesai, mereka semua mulai makan. Mudah ditebak. Itu Ramadhan tentu saja. Tapi Ibrahim juga tidak tahu apa itu Ramadhan. Jadi, dia merasa heran.
Pada tahun 1948, kisah Ibrahim, semua media menyuarakan gagasan anti-Islam. Ada banyak propaganda pada masa pembentukan Israel tentang ‘orang-orang Israel yang pemberani’ dan bagaimana mereka akan menciptakan sebuah ‘surga’. Tapi, dia tidak percaya apa yang dikatakan di media tentang Islam. Pasalnya, Ibrahim tinggal bersama umat Islam, “Saya tahu bahwa umat Islam tidak seperti itu, mereka selalu baik pada saya dan ramah.”
Setelah menjelajahi literatur agama Kristen dan agama-agama lain, Ibrahim mulai membaca Alquran. Pada awalnya, dia tidak terkesan. Karena satu-dua alasan, menurutnya apa yang dikatakan Alquran terdengar seperti malapetaka semua, atau hal-hal semacam itu. Dia sempat berhenti, tapi kemudian membaca lagi.
Tunisia
Selang beberapa tahun, Ibrahim pergi ke Tunisia. Dia masih ingat, waktu itu Jumat siang. Dia duduk di depan masjid agung sambil minum kopi. Tiba-tiba, dia melihat banyak orang datang ke masjid, lebih banyak daripada biasanya. Ibrahim waktu itu tidak tahu kenapa, tapi dia melihat jumlah jamaah di masjid meningkat pesat.
“Tiba-tiba, saya hanya berpikir saya ingin bersama mereka. Saya benar-benar ingin bisa berjalan dengan mereka, bahkan tanpa tahu mengapa,” ucap dia. Menuruti kata hati, Ibrahim pun masuk ke masjid. Ia bertanya pada seseorang di sana tentang Islam.
Orang itu menghabiskan waktu untuk menjelaskan panjang lebar tentang Islam. Dan, itu semua terdengar masuk akal bagi Ibrahim. Itu adalah pertama kalinya Ibrahim berada di masjid. “Saya tertarik untuk berada di sana dan saya mengucapkan syahadat di sana,” kata lelaki Inggris itu.
Setelah beberapa waktu, Ibrahim kembali ke Inggris. Di Inggris, dia tinggal di tengah-tengah komunitas Muslim. Ibrahim punya kebutuhan khusus karena sistem pendengarannya kurang berfungsi dengan baik. Tapi, komunitas Muslim di sana membantunya dengan sangat baik.
Lelaki itu mengaku sangat ingin tahu tentang Islam. Ia haus untuk tahu lebih banyak tentang Islam. Sayangnya, sejak terkena stroke beberapa tahun terakhir, Ibrahim hanya bisa membaca sedikit-sedikit. Dia pun mendidik dirinya dengan Islam perlahan-lahan. “Saya yakin kita selalu menginginkan apa yang Allah kehendaki untuk kita. Saya sangat berterima kasih atas apa yang telah Dia berikan kepada saya,” pungkas dia.
http://www.onislam.net/english/reading-islam/my-journey-to-islam/456232-my-curiosity-made-me-muslim.html