REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) prihatin atas banyaknya kasus kekerasan pada anak. Ketua umum Fatayat NU Anggia Ermarini mengatakan pemerintah harus memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku tindak kekerasan pada anak. Baik kekerasan fisik, psikis dan seksual. Hal ini agar menimbulkan efek jera.
"Regulasi hukum yang sekarang belum menimbulkan efek jera karena cuma 15 tahun. Belum lagi nanti akan dipotong dengan remisi dan lainnya. Kalau dia perkosa terus membunuh ya dibunuh aja. Kalau dia hidup apa memang akan berhenti," ujar Anggia saat ditemui usai mengadakan konferensi pers di kantor PBNU Jakarta, Kamis (8/10).
Ia menjelaskan, berdasarkan data yang ada, kasus kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ini artinya tidak ada penanganan serius dalam menghadapi situasi ini. Kasus kekerasan pada anak seperti fenomena gunung es yang berarti masih banyak kasus lainnya yang tidak terungkap.
Selain perbaikan sistem hukum. Pendidikan keorangtuaan (parenting education) juga sangat penting dilakukan dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Orang tua yang menjadi pemegang amanah anak harus sensitif dan sadar akan ancaman kekerasan bagi anak mereka.
Ia meminta seluruh elemen masyarakat bergerak bersama untuk menyelesaikan masalah ini. Mulai dari pemerintah, LSM, ormas, masyarakat luas dan partai politik. Untuk itu dalam waktu dekat, fatayat NU akan melakukan kunjungan ke fraksi partai di DPR, LSM dan kementerian terkait untuk mendorong agar memperhatikan hal ini.
"Karena anak itu amanah. Jadi kita nanti akan diminta pertanggungjawaban. Jika kita merusak masa depannya maka masa depan bangsa juga akan ikut rusak," katanya.
Berdasarkan data lembaga perlindungan anak pada tahun 2010-2014 tercatat 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak. Dari jumlah ini, 58 persen dikategorikan sebagai kejahatan seksual. Sisanya berupa kekerasan fisik, penelantaran dan lainnya.