REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dari keluarga aktivis di gereja itulah Febi mengenal Kristen hingga terdidik untuk menjadi aktivis gereja. Semasa kecil, ia beribadah di GPIB Cinere, ketika remaja ia pindah ke Gereja Alfa Omega di Semarang. Pada masa remaja, saat SMA Febi menjadi guru Sekolah Minggu di gereja.
“Opung saya, laki-laki dan perempuan itu semua aktif di gereja. Dari merekalah saya mengenal Kristen dan aktif di gereja. Sejak saat itu saya mulai aktif di kegiatan gereja, saat natal itu ada drama dan paduan suara,” ujarnya
Saat mengikuti drama Natal itulah imannya sedikit demi sedikit mulai goyah. Akal dan hati nuraninya tidak bisa menerima peringatan hari ulang tahun kelahiran Tuhan. Penelitiannya berlanjut ketika ia membaca kisah Natal dalam Alkitab (Bibel).
Menurut ilmu meteorologi dan geofisika, keadaan cuaca di Timur Tengah pada tanggal 25 Desember dan sekitarnya, di wilayah Yudea daerah kelahiran Yesus, adalah musim salju yang sangat dingin. Mustahil para penggembala membawa ternaknya ke padang pada malam hari di musim salju yang sangat dingin?
Febi menyimpulkan bahwa Yesus tidak mungkin lahir tanggal 25 Desember karena tidak sesuai dengan situasi kelahiran Yesus yang tercatat dalam Bibel.“Jadi buat saya ini tidak masuk akal. Sejak saat itu kehidupan saya mulai tidak tenang dan mulai mencari-cari keyakinan yang benar,” jelasnya.
Dalam kegalauan iman, Febi berusaha lebih aktif ke gereja untuk mencari jawaban. Tapi yang ia dapatkan bukan ketenangan, malah merasakan banyak keganjilan. Sebelum dibabtis Febi mengikuti Katekisasi gereja untuk pendalaman iman. Saat belajar itu Febi makin menemukan banyak pertanyaan dan keraguan yang belum terjawab.
Salah satu doktrin Kristen yang terasa ganjil di benaknya adalah inkarnasi Tuhan menjadi manusia Yesus untuk ditangkap, diolok-olok, disiksa, dicambuk, disesah, diludahi dan disalib hingga tewas mengenaskan di tiang salib (Markus 10:34).
“Ini tidak masuk akal, kok ada Tuhan yang menjelma jadi manusia lalu disiksa dan disalib. Kalau Tuhan itu Maha Pengampun dan penuh Kasih, kenapa tidak dia ampuni saja dosa manusia tanpa prosedur sadis seperti itu?” ujarnya.
Suatu hari Febi diajak keluarganya ke Yogyakarta untuk berziarah rohani di Gua Maria Lourdes. Di situ saya disuruh membaca Doa Bapa Kami :
“Bapa kami yang di surga, dipermuliakanlah kiranya nama-Mu. Datanglah kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu, seperti di surga, demikian juga di atas bumi. Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Dan ampunilah kiranya kepada kami segala kesalahan kami, seperti kami ini sudah mengampuni orang yang berkesalahan kepada kami. Dan janganlah membawa kami kepada pencobaan, melainkan lepaskanlah kami daripada yang jahat. Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”
Setelah merenungi Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus di Taman Getsemani dalam Injil Matius 6:9-13 ini, Febi makin ragu terhadap doktrin Trinitas. “Saya kemudian berpikir, sebenarnya Yesus itu siapa? Kok Yesus mengajarkan berdoa kepada Bapak yang ada di surga, Tuhan itu ada berapa?” kenangnya.
Semakin mendalami Bibel, Febi semakin meragukan doktrin ketuhanan Yesus. "Kalau Yesus itu Tuhan, kok bisa dia dicobai oleh iblis yang Dia ciptakan sendiri. Keyakinan saya bertambah bahwa agama Kristen ini tidak benar…
“Bibel mengisahkan Yesus yang penjelmaan Tuhan itu dicobai iblis. Kalau dia Tuhan kok bisa dia dicobai oleh iblis yang Dia ciptakan sendiri. Itu yang membuat keyakinan saya bertambah bahwa agama Kristen ini tidak benar,” simpulnya. Bersambung ..
Sumber: Mualaf.com