REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesetiaan sahabat Nabi Muhammad SAW dari go longan wanita atau sahabiyah sudah tidak diragukan lagi. Mereka rela berkorban mempertaruhkan nyawa bahkan hartanya demi membantu Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwah. Salah satunya adalah Nusaibah binti Ka'ab, sahabiyah dari golongan Anshar.
Nusaibah rela kehilangan nyawanya bahkan sebelumnya rela ditinggal suami dan anaknya agar bisa membantu Rasulullah berjihad. Seperti tertulis di Perempuan Hebat Sepanjang Masa, ketika itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said, sedang tidur di bilik tidur. Tiba- tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh.
Nusaibah mengira, itu pasti tentara musuh karena memang beberapa hari belakangan ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud. Setelah mendengar peristiwa itu, dia bergegas, meninggalkan apa yang sedang dilakukannya, dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya.
"Suamiku tersayang," ujarnya, "Aku men dengar suara pelik menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang." Said yang masih belum sadar sepenuhnya langsung tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu, malah istrinya.
Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said. "Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang," pintanya dengan haru.
Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya.
Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said. Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas.
Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang tampaknya sangat gugup. "Ibu, salam dari Rasulullah," ber- kata si penunggang kuda, "Suami Ibu, Said, baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid."
Nusaibah tertunduk sebentar, "Inna- lillah...," gumamnya, "Suamiku telah menang perang. Terima kasih ya Allah."
Setelah pemberi kabar itu, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, "Amar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?"
Amar mengangguk. Hatinya berdebar- debar. "Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi." Mata Amar bersinar-sinar. "Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak tadi. Aku ragu-ragu seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah."
Putra Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya meng ikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikit pun dalam wajahnya. Di hadapan Rasulullah, ia memperkenal kan diri. "Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur."
Rasulullah dengan terharu memeluk anak muda itu. "Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu."