REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bentuk nusyuz mulai dari perkara ringan dan berat. Hal ringan seperti istri yang keluar rumah tanpa izin suaminya, perkataan yang merendahkan suami, menggunjingkan aib suami pada orang lain, dan sebagainya.
Hal terberat dari nusyuz adalah perselingkuhan istri yang telah menodai ikatan pernikahan.
Karena bentuk-bentuk dari nusyuz ini berbeda-beda, tindakan suami untuk menasehati istri yang nusyuz juga berbeda-beda pula.
Tidaklah arif jika istri yang melakukan nusyuz yang ringan, kemudian langsung diberikan tindakan yang berat seperti pukulan. Seluruh ulama bersepakat dengan tahapan-tahapan suami dalam menasehati istrinya.
Definisi kata "wadhribuhunna" (dan pukullah mereka), para ulama berbeda pendapat dengan makna kata tersebut. Para ulama yang sepakat mengartikannya dengan pukulan, tidak pula serta-merta si suami boleh semena-mena memukul istri.
Mereka menyebutkan, pukulan yang dilakukan suami kepada istrinya dalam rangka menasehati ada beberapa persyaratannya. Seperti; pukulan tidak dilakukan dengan wajah, tidak boleh meninggalkan bekas lebam atau luka, tidak boleh dilakukan dengan bentakan atau cacian, hanya dilakukan dengan tangan dan tidak boleh memakai media.
Disamping itu, tindakan memukul bagi suami adalah langkah akhir dari tahapan-tahapan yang disebutkan Alquran. Suami tidak boleh langsung memukul sebelum melakukan tahapan-tahapan sebelumnya, seperti menasehati dan memisahkannya di ranjang. Pendapat ini dipakai oleh jumhur (mayoritas ulama).
Jumhur berpendapat, tindakan pemukulan terkadang memang bisa dilegalkan suami kepada istri. Istri yang melakukan nusyuz kategori berat, seperti perselingkuhan. Terkadang nasehat yang diberikan suami tidak mempan lagi jika hanya sebatas kata-kata saja. Apalagi, istri bisa memberontak, melawan, dan menghina suami yang mencoba menasehatinya secara lisan.
Dengan adanya pukulan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ulama, diharapkan istri bisa sadar dan menghargai suaminya. Pukulan suami adalah pukulan kasih sayang, bukan bertujuan untuk mengalirkan darah, mematahkan, menghancurkan, atau malah membuat si istri cacat.
Disamping pendapat jumhur, ulama-ulama lainnya yang berasal dari kaum sastrawan bahasa Arab mengatakan, kata "wadhribuhunna" tidak mesti diartikan memukul. Banyak firman Allah di ayat lainnya yang juga memakai arti "dharaba" dan tidak diartikan memukul.
Firman Allah SWT, "Tidakkah kami perhatikan bagaimana Allah SWT telah membuat (dharaba) sebuah perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik." (QS Ibrahim [14]: 24). Dalam bahasa Arab, dharaba bisa diartikan; membuat, berkata, dan menegaskan.
Para ahli sastra bahasa Arab tersebut berpendapat, bisa jadi yang dimaksudkan dalam surat an-Nisaa' ayat 34 tersebut adalah perkataan yang mengandung ketegasan dan nasehat. Bisa juga diartikan perkataan yang punya konsekuensi hukum, seperti perceraian.
Jadi, tidak harus dimaknai dengan memukul. Namun penafsiran kaum sastrawan Arab tersebut masih belum rajih (kuat) dibanding pendapat jumhur ulama. Wallahu'alam.