REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Timur Tengah merupakan sebuah konsep geopolitik yang tidak lepas dari cara pandang eurosentris. Istilah ini biasanya merujuk negara- negara seperti Bahrain, Siprus, Mesir, Turki, Iran, Irak, Palestina, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Palestina. Sepak terjang Barat menorehkan jejak hitam sepanjang sejarah kawasan ini.
Taufik Abdullah dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menguraikan, pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada 1798 dapat dipandang sebagai permulaan ekspansi Barat ke Timur Tengah pada zaman modern. Kendati, Napoleon Bonaparte sendiri hanya tiga bulan berada di Kairo.
Kedatangan Barat ke berbagai belahan dunia Islam ini dimungkinkan oleh tidak adanya kesatuan di antara para penguasa lokal Muslim. Turki Utsmani telah lumpuh. Di sisi lain, perkembangan Eropa di bidang militer, teknologi, dan ilmu pengetahuan memasuki era kejayaan.
Kemunculan negara-negara baru di Timur Tengah tidak lepas dari campur tangan Barat. Satu abad silam, wilayah ini masih satu kesatuan di bawah imperium Turki Utsmani. Serentetan peristiwa global sepanjang awal abad ke-20 mengubah peta kawasan ini.
Seiring melemahnya Turki Utsmani dan menguatnya para penguasa lokal, aktivitas Barat di beberapa tempat seperti Lebanon, Palestina, dan Suriah semakin menonjol sejak pertengahan abad ke-19. Perang Dunia I (1914-1918) membuka jalan bagi pembentukan negara-negara baru di Timur Tengah. Campur tangan Inggris dan Prancis di kawasan ini mendorong Turki Utsmani untuk berpihak kepada Jerman dalam Perang Dunia I.
Di sisi lain, Inggris dan Prancis menjadi lebih intensif mengambil simpati para penguasa lokal. Kedua negara Eropa ini sepakat untuk berbagi pengaruh di wilayah ini.