REPUBLIKA.CO.ID,CHICAGO -- Penyatuan suara dari setiap pemimpin umat agama dinilai efektif untuk melawanIslamofobia.
"Para pemimpin agama harus bertanggung jawab atas krisis keagamaan di dunia," ujar Tawakkol Karman, seorang jurnalis Yaman, politisi dan aktivis hak asasi manusia, pada acara konferensi Islamic Society of North America (ISNA)ke-52 di Chicago, dikutip dari Onislam.net, Jumat (11/9).
Ia meminta para pemimpin pemuka agama untuk mengakui dan menghormati orang lain yang berbeda keyakinan dari mereka. Itu dimaksudkan bukan untuk meyakinkan ajaran siapa yang benar atau sebaliknya, karena pembicaraan seperti itu justru akan menghasilkan hal yang berlawanan.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2011 itu mengatakan, peran pemimpin agama tidak hanya di masjid, gereja dan sinagog. Pemuka agama juga harus peka terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami oleh umatnya di luar tempat ibadah.
Mempersiapkan generasi berikutnya pemimpin lintas agama sesuai apa yang disampaikan Karman merupakan cerminan dari salah tujuan ISNA.
Konferensi ini juga mengadakan sebuah panel pembicaraan membahas nasib Kristen Arab di Palestina, ancaman terhadap kebebasan beragama dari Afrika Tengah hingga ke AS, krisis pengungsi Suriah, dan ISNA Shoulder to Shoulder yang merupakan kampanye antaragama dan kelompok-kelompok agama yang didedikasikan untuk mengakhiri Islamofobia.
"Kita perlu melindungi hak-hak minoritas di sini sehingga kita bisa mempengaruhi hak-hak minoritas di luar negeri," kata direktur kampanye Shoulder to Shoulder Catherine Orsborn.
Menurutnya, fanatisme anti-Muslim di Amerika tidak hanya menjadi masalah Muslim saja. Komunitas agama lain pun perlu memberikan contoh untuk menghilangkan hal tersebut.