Ahad 06 Sep 2015 17:20 WIB

Peranan Ulama dalam Kebangkitan Islam

Perang salib (ilustrasi)
Foto: wordpress
Perang salib (ilustrasi)

Oleh: Prof. Didin Hafiuddin

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alhamdulillah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) ke-9 pada 24 hingga 27 Agustus lalu di Surabaya. Munas ke-9 MUI telah melahirkan berbagai fatwa dan rekomendasi yang berkaitan dengan permasalahan umat yang aktual dan perlu mendapatkan perhatian kita bersama. Selain itu, dalam munas tersebut telah dipilih para pengurus MUI periode 2015-2020.

Kita tentu berharap MUI akan semakin berperan aktif dalam memberikan arahan pada kehidupan umat dalam berbagai macam bidang kehidupannya, sekaligus memberikan panutan dan keteladanan, baik bagi para penguasa maupun umat secara keseluruhan. Para ulama adalah kelompok orang yang ikut menentukan baik-buruknya suatu bangsa. Jika ulama memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi serta akhlaqul karimah maka penguasa dan umat secara keseluruhan juga akan menjadi baik.

Sebaliknya, jika ulama rusak (banyak ulama su') maka akan rusak pula penguasa dan bangsanya.

Dalam kitab Ihya' Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis: "Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasa; dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama; dan kerusakan ulama disebabkan oleh karena cinta harta dan cinta kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat, apalagi penguasanya."

Kitab Ihya' Ulumiddinmenjadi saksi sejarah yang penting bagaimana peranan ulama dalam kebangkitan umat Islam pada zaman Perang Salib, sebagaimana diungkapkan Dr Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza `Adat al-Quds. Ketika kekuasaan politik dan kemajuan teknologi yang dimiliki umat Islam tidak mampu lagi menahan keterpurukan, mereka dijajah dan ditindas, bahkan Kota Yerusalem pun jatuh ke Pasukan Salib (1099 M).

Para ulama yang dimotori oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan lain-lain berhasil membangun madrasah sebagai kekuatan sentral untuk melahirkan generasi baru yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin. Di Indonesia pun (Adian Husaini: 2015) sejarah telah menunjukkan peranan sentral para ulama dalam melawan penjajahan dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.

Bahkan, perumusan Konstitusi Negara RI, UUD 1945, yang memberikan penegasan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid), juga pentingnya kemanusiaan dibangun di atas landasan konsep adil dan beradab, serta rakyat yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan, sampai tujuan mewujudkan keadilan sosial, tak lepas dari peran para ulama, seperti KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Kahar Muzakkir, dan Abikoesno Tjokrosoejoso.

Begitu juga ketika penjajah akan kembali lagi, para ulama di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa: wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tentunya terlalu banyak jika disebutkan satu per satu, peranan ulama dalam mengawal perjalanan NKRI sehingga menjadi "baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur".

Bahkan, sejak berdiri pada 1975, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan representasi dari para ulama di Indonesia telah memainkan peran penting dalam mengawal kekuasaan dan membina masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini pun, keberadaan dan peranan MUI semakin menunjukkan peran yang strategis di tengah umat dan bangsa.

Akan tetapi, sejalan dengan itu, tantangan yang dihadapi para ulama (baca: MUI) pun semakin berat. Tentu kita harapkan, ke depan, MUI bisa semakin memperkuat peranannya sehingga posisinya semakin kokoh dan peranannya semakin dirasakan oleh umat dan bangsa Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement