Kamis 27 Aug 2015 03:10 WIB

Munas MUI Soroti Syiah dan Insiden Tolikara

Seminar Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Seminar Majelis Ulama Indonesia (MUI).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sidang Komisi Rekomendasi dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti belasan topik, di antaranya Syiah, radikalisme, pornografi, penyatuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, kriminalisasi dalam hubungan suami istri, dan sebagainya.

"Kita belum selesai merumuskan soal Syiah. Kita memang ada persoalan dengan Syiah yang perlu ada kebijakan, tapi jangan sampai ada anarkhisme," kata Ketua Komisi D (Rekomendasi) Munas IX MUI KH Abdusshomad Bukhori di Surabaya, Rabu (26/8).

Di sela memimpin pembahasan oleh tim perumus pada komisi itu, ia menjelaskan untuk mengatasi anarkisme mungkin bisa saja meniru sikap Pemprov Jatim yang mengeluarkan Pergub 55/2012 tentang pembinaan aliran sesat.

"Karena itu, Munas MUI kali ini mengangkat tema wasathiyah atau tengah-tengah alias moderat yang berarti tidak ke kanan atau liberal dan juga tidak ke kiri atau radikal. Jadi, Indonesia merupakan bumi Islam Moderat yang tidak ke kanan dan ke kiri," katanya.

Menurut dia, Komisi Rekomendasi Munas IX MUI juga membahas insiden Tolikara yang menyoroti dua hal yakni pelarangan beribadah sebagai pelanggaran HAM, lalu peristiwa Tolikara harus diusut tuntas agar tak terulang, baik pelaku maupun aktor intelektual.

"Kami juga merekomendasikan perlunya Ekonomi Islam dalam konteks dana pembangunan serta pengaturan masalah pertanahan yang banyak dikuasai oknum secara berlebihan, sehingga merugikan masyarakat," kata ketua MUI Jatim itu.

Secara terpisah, Ketua Komisi C (Fatwa) Prof Dr H Hasanuddin AF MA menegaskan bahwa pihaknya telah merumuskan tiga fatwa dalam Munas IX MUI di Surabaya, namun satu fatwa belum dapat disimpulkan dan menjadi "pekerjaan rumah" bagi kepengurusan MUI mendatang.

"Dua dari tiga fatwa yang telah tuntas dirumuskan adalah hukum harta zakat untuk pengadaan proyek air bersih dan sanitasi, serta kriminalisasi dalam hubungan suami-istri terkait UU KDRT. Satu-satunya fatwa yang belum ada kata sepakat adalah penyatuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Zulhijjah," katanya.

Ketua Komisi Fatwa MUI yang juga Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu menambahkan MUI menolak adanya sanksi pidana terkait pemaksaan dalam hubungan suami-istri sebagaimana diatur dalam UU KDRT.

"Islam tidak mengatur sanksi pidana dalam hubungan suami-istri. Islam mengatur bahwa suami tidak boleh melakukan kekerasan, lalu istri tidak boleh menolak bila tidak ada halangan syar'i, seperti melahirkan, sakit, menstruasi, dan sebagainya," katanya.

Untuk pemanfaatan harta zakat untuk proyek air bersih dan sanitasi, ia mengatakan hal itu boleh, asalkan mustahik (fakir miskin) di sekitarnya sudah terentaskan semuanya dan pemerintah belum mampu mengusahakan proyek itu. "Itu karena air bersih itu penting untuk makan-minum," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement