REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2010/ 2015, Prof Dr HM Din Syamsudin menghendaki, Munas IX MUI Surabaya harus menjadi munas teladan.
Yakni munas yang mencerminkan nilai- nilai Islam serta tidak perlu diwarnai persaingan antar para ulama maupun zuama yang ada di dalamnya.
Menurut Din, Munas IX MUI salah satu agendanya memilih pengurus MUI untuk masa khidmat lima tahun ke depan, termasuk ketua umum lewat mekanisme formatur.
“Ini merupakan penjelmaan Ahlul Halli wal Aqdi yang telah diterapkan MUI sudah sejak jauh hari,” ujarnya, di sela kegiatan Munas IX MUI, Surabaya, Selasa (25/8).
MUI ini, jelasnya, merupakan lembaga keagamaan serta lembaga moral. Maka itu arena munas ini tidak menjadi ajang persaingan di antara para ulama dan zuama. “Musyawarah itu bukan musabaqah, tidak perlu ada persaingan, namun harus bisa dilakukan dengan musyawarah,” tegas Din.
Ia juga mengaku sudah lama menghayati ajaran Islam. Pada hadist Rasulullah SAW mengajarkan agar ulama tidak minta- minta atau mengemis jabatan.
Apalagi secara ambisius ingin merebut jabatan. Menurutnya ini jauh dari nilai Islam, termasuk nilai wasathiyah itu sendiri. Oleh karena itu, ia berpendapat munas ini jauh dari nilai- nilai yang bertentangan dengan nilai Islam.
“Bahkan saya sangat menginginkan Munas IX MUI Surabaya kali ini harus menjadi munas teladan yang mengembangkan ajaran Islam,” kata Din menegaskan.
Din menambahkan, selama ini dirinya tidak pernah meminta- minta jabatan. Menjadi ketua umum pun Karena ketua umum lama (red; KH Sahal Mahfud) wafat.
“Sesuai dengan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga (PD/PRT) yang menggantikan adalah wakil ketua umum, alhamdulillah saya sudah mengantar MUI sampai munas kali ini,” tegasnya.
Saat diminta komentar kesiapannya, Din bahkan menyampaikan, kemarin sudah mengisyaratkan dalam rapat paripurna Munas IX MUI untuk menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme musyawarah.
Kalau ada ulama lain yang didukung pun dipersilahkannya. Sebab ia sudah nyatakan tidak siap menjadikan MUI ini sebagai wadah perebutan dan persaingan.
Sebab hal ini merupakan sesuatu yang fatal. Maka harus ditempuh jalan lain terbaik. Yakni musyawarah para ulama, zuama, cendekiawan muslim termasuk ormas- ormas Islam. Tapi saya sepakat dengan ide MUI menjadi tenda besar bagi seluruhnya. Maka MUI perlu pemimpin- pemimpin yang mengayomi.
“Kembali saya tak menjawab ya atau tidak untuk dicalonkan. Namun hanya menyatakan etika saya dalam lingkaran perkhidmatan dan keagamaan ini jangan sampai ada persaingan,” tegasnya.