Jumat 07 Aug 2015 17:00 WIB

KH Wahib Wahab, Sang Pejuang Hizbullah yang Anti Jadi Menteri (2-habis)

Rep: Amri Amrullah/ Red: Indah Wulandari
KH Wahib Wahab
Foto: wikiedia
KH Wahib Wahab

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- KH Wahib wahab memilih kembali ke pesantren dan mengembangkan NU secara organisatoris dan kelembagaan. Kiai Wahib sempat tercatat juga menjadi anggota DPR dan Menteri Penghubungan Sipil Militer.

Hingga pada 1959 ketika Presiden Soekarno saat itu meminta ia mengemban amanah sebagai Menteri Agama menggantikan KH Muhammad Ilyas, sebagai representasi dari Partai NU saat itu.

Hhanya berselang tiga tahun memimpin Departemen Agama saat itu, Kiai Wahib kemudian mengundurkan diri. Pengunduran dirinya ini lebih dikarenakan ketidakcocokan pandangan dengan Bung Karno saat itu. Ini ia sampaikan kepada KH Syaifuddin Zuhri yang kemudian menggantikannya pada 1962 sebagai Menteri Agama RI ke-9.

Sikap Kiai Wahib ini menunjukkan tipikal para pejuang yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa dan negara, jabatan sebagai amanah bukan karakter pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Kiai Wahib pun menegaskan dirinya ingin lebih berkarya lain selain menjadi Menteri Agama, seperti berwirausaha dan bisnis keluarga.

Sikap yang ditunjukkan Kiai Wahib ini menunjukkan bahwa jabatan sebagai menteri bukanlah momentum untuk memperkaya diri, tapi benar-benar untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sikap rendah hati Kiai Wahib inilah yang membuat Kiai Saifuddin Zuhri merasa tidak enak hati untuk menggantikannya sebagai Menteri Agama.

Namun, Kiai Wahib menegaskan kepada KH Saifuddin Zuhri, bahwa kepercayaan Presiden Sukarno mengangkatnya sebagai Menteri Agama adalah amanah yang tetap harus dijalankan.

Sikap ini menjadi contoh etika politik yang sangat elegan yang tidak dijumpai pada pejabat saat ini. Usai pensiun dari jabatan Menteri Agama, Kiai Wahib menetap di Bandung, dan membuka usaha pembuatan ubin untuk menghidupi keluarganya.

Kiai Wahib merupakan contoh tokoh yang mengabdi diri untuk kepentingan orang banyak, memberi bukan mengambil hak dari orang banyak. Mengutamakan negara dan bangsanya di atas kepentingan pribadi atau keluarganya.

Ia meninggal di Jakarta, 12 Juli 1986. Jasadnya tetap disemayamkan di tempat kelahirannya di Jombang berdekatan dengan ayahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement